Top
Begin typing your search above and press return to search.

Sinergi dua arah reformasi Polri menuju kepercayaan publik

Sinergi dua arah reformasi Polri menuju kepercayaan publik
X

Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie (tengah) didampingi anggota Otto Hasibuan (kedua kiri), Ahmad Dofiri (kiri), Idham Azis (ketiga kanan), Mahfud MD (kedua kanan), Badrodin Haiti (kanan), dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (ketiga kiri) memberikan keterangan kepada wartawan usai rapat di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (10/11/2025). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/bar/am.

Mendekati ujung 2025, agenda reformasi kepolisian mencapai kemajuan strategis. Untuk pertama kalinya dalam dua dekade, pembaruan dilakukan secara ganda dan simultan dari sisi internal dan eksternal kepolisian. Reformasi kepolisian berjalan secara holistik dari aspek paradigmatik hingga operasional di lapangan.

Beberapa waktu lalu, Tim Transformasi Reformasi Polri dibentuk oleh Kapolri untuk bekerja dari dalam institusi dengan target penguatan sistem, budaya kerja, dan pelayanan publik. Tak berselang lama, pada 7 November 2025, Presiden Prabowo Subianto membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri Polri untuk mengawal arah reformasi agar selaras sejalan dengan prinsip akuntabilitas dan nilai-nilai demokrasi. Dua kutub saling sinergi bertemu.

Reformasi kepolisian yang kini tengah berlangsung bukanlah sekadar upaya administratif untuk menata struktur, mengganti seragam, atau memodernisasi peralatan. Ini adalah transformasi paradigmatik. Pergeseran watak institusi kepolisian dari “aparat kekuasaan” yang bersifat power-based menuju “pelayan publik” yang bersifat trust-based.

Di era demokrasi terbuka dan transformasi digital, ukuran keberhasilan Polri tidak lagi ditentukan oleh seberapa kuat mereka menegakkan hukum, melainkan seberapa besar mereka dipercaya publik.

Secara strategis, transformasi internal Polri saat ini digerakkan oleh konsistensi implementasi visi Polri “Beyond Trust Presisi” sebagaimana dijabarkan dalam Grand Strategy Polri 2025–2045. Visi ini menempatkan reformasi bukan sebagai proyek jangka pendek, melainkan proses jangka panjang dan berkelanjutan menuju kepolisian modern yang adaptif terhadap perubahan sosial, teknologi, dan tata kelola publik.

Dalam kerangka itu, Polri perlu mengidentifikasi setidaknya sebelas masalah sistemik yang menggerogoti kepercayaan masyarakat. Mulai dari penyuapan, pungutan liar, arogansi, penyalahgunaan barang bukti, beking kegiatan illegal, penyalahgunaan narkoba, pelanggaran aturan, pemerasan, penembakan secara tidak sah, penggunaan kekerasan secara berlebihan, dan penyalahgunaan narkoba.

Polri juga mengidentifikasi sejumlah persoalan lain seperti manipulasi keuangan, perselingkuhan, mark up anggaran, melindungi pelaku kejahatan internal, dan manipulasi administrasi.

Semua persoalan ini tidak bisa diatasi hanya dengan peraturan, tapi juga menuntut perubahan kultur dan perilaku. Satu agenda besar yang harus dilakukan secara hati-hati, tidak terburu-buru dan berkelanjutan. Perubahan yang radikal di tubuh kepolisian dapat menimbulkan gejolak di masyarakat sehingga dapat mengganggu keamanan secara umum.

Dimulai dari garda depan

Sebagai langkah pembuktian terhadap komitmen transformasi kepolisian, Polri perlu merumuskan program prioritas yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat secara cepat. Yaitu, program pelayanan publik kepada masyarakat.

Titik strategis pelayanan publik terletak pada titik persentuhan antara Polri dan masyarakat atau dikenal dengan garda depan pelayanan publik. Perbaikan pada titik ini hasilnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat seperti kecepatan respon, keramahan layanan, kepastian proses dan tidak adanya pungli. Dalam kerangka ini, penulis menawarkan sejumlah perbaikan.

Dimulai dari rebranding Pasukan Pengendalian Masyarakat dan Patroli (PAMAPTA) yang dulunya dipersepsikan sebagai “pengaman berseragam” yang beroperasi di setiap wilayah diarahkan untuk menjadi visible police yang selalu hadir dan siap melakukan pelayanan publik di lokasi operasi lapangan.

Lalu rebranding penanganan unjuk rasa dari “menghadapi massa” menjadi “melayani massa”. Hal ini menandai pergeseran paradigmatik dari pendekatan kekerasan menuju pendekatan humanis dan demokratis. Polisi kini diposisikan sebagai fasilitator aspirasi rakyat. Polri diarahkan untuk menjaga keamanan dengan mengedepankan dialog dan empati kepada masyarakat.

Kemudian, peningkatan standar respon kanal panggilan 110. Didesain sebagai pertolongan pertama masyarakat seperti 911 di Amerika, saat ini kanal tersebut sudah mulai digunakan luas oleh masyarakat.

Sejumlah laporan menunjukkan bahwa ada peningkatan trafik penggunaan kanal panggilan 110, meski sebagian besar masyarakat masih menggunakannya untuk coba-coba atau laporan palsu. Namun demikian, upaya ini seharusnya dapat ditanggulangi dengan program Pilot Revamp 110 (peningkatan fungsi) berbasis Artificial Intelligence untuk memfilter dan memvalidasi panggilan sehingga meningkatkan ketepatan dan kecepatan respon.

Hal lain adalah peningkatan kualitas Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). SPKT merupakan unit pelayanan terpadu di Polres/Polsek maupun Polda yang menggabungkan layanan pengaduan, administrasi, dan respons tanggap keamanan. Upaya Polri dalam hal ini diarahkan pada pengembangan sistem digital, antrian elektronik, dan pelacakan laporan secara online.

Salah satu agenda besar yang cukup berhasil diterapkan pada garda depan pelayanan kepolisian adalah digitalisasi sistem dan layanan publik. Ini bukan sekadar modernisasi, tetapi strategi mendasar untuk memangkas birokrasi, menghapus ruang korupsi, dan membangun kepercayaan berbasis bukti (evidence-based trust). Selain dijaga keberlanjutannya, juga perlu ditingkatkan kualitas pelayanannya.

Korlantas Polri kini menjadi pionir dalam agenda digitalisasi kepolisian melalui berbagai inovasi aplikasi unggulan yang memudahkan pelayanan publik dan menegakkan hukum secara transparan. Aplikasi SIGNAL (Samsat Digital Nasional), yang telah digunakan oleh lebih dari 13 juta masyarakat, memungkinkan pengesahan STNK dan pembayaran pajak kendaraan bermotor tanpa perlu tatap muka, mengurangi antrian dan potensi pungutan liar.

Aplikasi SINAR (SIM Nasional Presisi), yang telah diunduh sebanyak 15 juta kali, berhasil menekan praktik percaloan dalam perpanjangan SIM dengan sistem yang lebih akuntabel dan efisien. Aplikasi ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) menjadi wujud nyata prinsip Equality Before The Law, dengan target ambisius mencapai 95 persen penegakan hukum lalu lintas secara elektronik pada tahun 2025.

Baintelkam turut berinovasi dengan menghadirkan layanan SKCK Online yang telah terintegrasi dengan data kependudukan dan sistem pembayaran BRIVA, menjadikan proses penerbitan surat keterangan catatan kepolisian lebih cepat dan terverifikasi.

Sementara di bidang reserse, sistem SP2HP Online memberikan ruang bagi pelapor untuk memantau perkembangan kasus secara real-time, memperkuat transparansi dan akuntabilitas penyidikan.

Semua terobosan pelayanan di atas sesungguhnya merupakan cermin komitmen reformasi kelembagaan Polri. Pergeseran paradigma tampak dimulai dari hal yang paling dirasakan masyarakat. Namun demikian, berbagai kendala seperti akses internet, rendahnya literasi digital dan keamanan data haruslah tetap menjadi perhatian utama.

Sinergi agenda dua arah

Di tengah upaya reformasi pelayanan kepolisian, Presiden Prabowo melantik Komisi Percepatan Reformasi Polri. Komisi ini diharapkan berfungsi sebagai penentu arah kebijakan, memberikan rekomendasi langsung kepada Presiden, sekaligus memastikan reformasi Polri berjalan sesuai prinsip tata kelola yang baik.

Dapat dikatakan bahwa Tim Transformasi Reformasi Polri bekerja sebagai implementator kebijakan di lapangan, sementara Komisi Percepatan Reformasi Polri menjadi penjaga akuntabilitas publik.

Dalam arsitektur negara demokrasi, Polri diposisikan sebagai alat negara dan sudah tepat di bawah kepala negara (Presiden) langsung dengan fungsi utama menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas untuk melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Semangat mengusung reformasi Polri muncul dari kesadaran bahwa kepolisian adalah institusi yang melayani sipil dan mengabdi kepada kepentingan negara. Maka Polri dituntut untuk profesional dan bebas dari konflik kepentingan.

Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri Polri oleh Presiden menjadi tonggak penting dalam upaya menata kembali arah dan peran institusi kepolisian di tengah tuntutan publik akan transparansi dan akuntabilitas.

Reformasi ini tidak sekadar administratif, tetapi menyentuh dimensi filosofis dan struktural dengan menilai kembali kekuatan dan kelemahan Polri sebagai institusi vital penjamin rasa aman dan kepastian hukum secara lebih independen dan bebas dari konflik kepentingan.

Dalam kerangka tersebut, kehadiran sejumlah mantan Kapolri dan sejumlah tokoh lintas sektor, menunjukkan bahwa Presiden menginginkan terjadinya dialog antara Kapolri dan para tokoh tersebut, membangun refleksi kelembagaan yang berakar pada pengalaman empiris. Komisi dituntut menyusun laporan kemajuan setiap tiga bulan, yang kemudian dikaji untuk menjadi rekomendasi strategis bagi Presiden.

Siklus pelaporan berkala ini mencerminkan model governance loop yang menekankan prinsip accountability, learning, and improvement. Memastikan bahwa reformasi tidak berhenti sebagai slogan, melainkan menjadi proses berkelanjutan yang dapat diukur, dievaluasi, dan dirasakan masyarakat secara nyata.

Secara konseptual, sinergi ini mencerminkan model whole-of-government approach dalam sektor keamanan. Yaitu sebuah desain di mana reformasi tidak hanya menjadi urusan Polri, melainkan agenda negara. Reformasi Polri hari ini adalah ujian moral bagi bangsa. Ia bukan hanya tentang memperbaiki lembaga penegak hukum, tetapi tentang memulihkan kepercayaan antara negara dan rakyat.

Tim Transformasi dan Komisi Percepatan Reformasi Polri harus menjadi dua tangan dari satu tubuh untuk tujuan perubahan. Tanpa sinergi, keduanya hanya akan menjadi simbol. Tapi dengan kolaborasi dan sinergi, hasil kerja kedua tim kerja ini mereka dapat menjadi fondasi reformasi Polri secara berkelanjutan.

Sebagaimana dikatakan Robert Peel, pendiri kepolisian modern Inggris: “Polisi adalah masyarakat, dan masyarakat adalah polisi.” Reformasi Polri hanya akan berhasil jika setiap anggota memahami dirinya sebagai pelayan, bukan penguasa dan sebagai bagian dari masyarakat, bukan entitas di atas masyarakat.

Jika arah ini dijaga, maka reformasi Polri tidak hanya akan melahirkan lembaga yang presisi dan modern, tetapi juga meneguhkan kembali makna luhur keamanan nasional yang lahir dari kepercayaan, bukan ketakutan. Institusi Kepolisian yang kuat adalah salah satu prasyarat untuk membangun Indonesia Emas di masa mendatang.

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire