Top
Begin typing your search above and press return to search.

Tata kelola NU abad kedua, dari gegeran ke ger-ger-an

Ketegangan antara Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah Nahdlatul Ulama (NU) yang mencuat ke ruang publik, beberapa waktu terakhir ini, mengundang perhatian nasional.

Tata kelola NU abad kedua, dari gegeran ke ger-ger-an
X

Arsip foto - Bendera NU dikibarkan di sela Harlah Ke-78 Muslimat di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (20/1/2024). ANTARA/HO-Biro Adpim Jatim/aa.

Ketegangan antara Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah Nahdlatul Ulama (NU) yang mencuat ke ruang publik, beberapa waktu terakhir ini, mengundang perhatian nasional. Banyak kalangan membaca peristiwa ini sebagai benturan kepentingan, perebutan pengaruh, atau persaingan politik internal.

Melihat situasi ini sebatas perselisihan personal antarelit, justru mengabaikan dinamika historis organisasi dan konteks transformasi besar yang sedang dihadapi NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia.

Konflik tersebut bukanlah kejutan, apalagi anomali. NU memiliki sejarah panjang ketegangan di level elit, tapi selalu menemukan jalan pulih, sekaligus sarana bertumbuh dari dalamnya.

Pada era KH Idham Chalid, misalnya, "perselisihan" antara otoritas syuriah dan tanfidziyah pernah mengguncang NU, hingga memengaruhi diferensiasi peran kelembagaan.

Di masa yang berbeda, publik juga menyaksikan "perdebatan" keras antara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan KH Asad Syamsul Arifin, yang berakar pada perbedaan strategi menghadapi tantangan eksternal dan internal organisasi.

Konflik-konflik tersebut tidak mengakhiri NU. Sebaliknya, ia menjadi sarana organisasi melakukan koreksi struktural maupun kultural, memperjelas mandat kelembagaan, dan membentuk orientasi baru.

Karena itu, konflik antara Rais Aam dan Ketua Umum PBNU, hari ini, lebih tepat dibaca dalam kacamata sosiologi organisasi, yaitu sebagai dinamika yang lazim dan bahkan produktif dalam proses pendewasaan institusi, terutama ketika NU memasuki abad keduanya, dengan agenda besar pembaruan tata kelola dan perluasan peran sosial.

Perebutan tafsir

Pandangan Michel Foucault, filusuf dan sejarawan asal Prancis, memberikan lensa penting untuk membaca dinamika kali ini. Bagi Foucault, kekuasaan bukan semata perebutan posisi, melainkan pertarungan untuk mengendalikan wacana, tentang siapa yang berhak menentukan apa yang benar dan apa yang tepat.

Di tubuh NU, pertarungan ini tampak bukan hanya dalam keputusan formal, tetapi juga dalam narasi tentang siapa yang lebih otoritatif menafsirkan arah perjalanan jam'iyah, apakah penjaga khittah dan otoritas keulamaan, atau pelaksana kebijakan organisasi dan agenda sosial-struktural.

Dengan perspektif Foucauldian, konflik ini menggambarkan adanya upaya untuk memperebutkan legitimasi epistemik dan moral di dalam NU. Ia bukan sekadar adu kekuatan, melainkan pergulatan visi tentang bagaimana NU harus berperan di panggung nasional dan global, apakah tetap menjaga jarak dari kekuasaan negara atau terlibat lebih aktif dalam mengelola peradaban melalui pendidikan, ekonomi, dan program sosial? Pertanyaan ini adalah inti dari pertarungan tafsir.

Seementara sosiolog Lewis Coser mengingatkan bahwa konflik di dalam kelompok tidak selalu memiliki sifat destruktif. Dalam kelompok yang besar dan kompleks, konflik memiliki fungsi laten, yaitu mempertegas kembali nilai bersama, memperbaharui komitmen anggota, serta menguji efektivitas struktur kelembagaan. Konflik dapat menjadi mekanisme adaptasi organisasi terhadap perubahan.

Dengan demikian, ketegangan di NU, hari ini, sesungguhnya menandai vitalitas organisasi. NU yang steril dari konflik justru akan menjadi organisasi yang stagnan dan kehilangan daya regenerasi pemikiran. Dalam konteks ini, konflik bukan tanda kelemahan, tetapi indikator bahwa gagasan tentang masa depan NU sedang bergerak, diperdebatkan, dan disempurnakan.

Diagnosa akar konflik

Untuk memahami penyebab konflik secara lebih objektif, model Conflict Triangle dari sosiolog Johan Galtung (1996) dapat digunakan. Model ini membagi konflik ke dalam tiga dimensi.

Pertama, attitude (sikap), yaitu situasi dimana meningkatnya sensitivitas elit terhadap legitimasi otoritas keulamaan dan otoritas administratif. Kedua, behaviour (perilaku), yaitu situasi mengerasnya pernyataan publik, simbolisasi dukungan, hingga manuver komunikasi. Dan yang ketiga adalah contradiction (pertentangan), yaitu desain hubungan kekuasaan antara syuriah dan tanfidziyah yang belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan organisasi modern dan kompleks yang kini dihadapi NU.

Dengan demikian, akar ketegangan bukan hanya persoalan individu. Ia menunjukkan kebutuhan mendesak untuk menyelaraskan struktur otoritas di NU agar mampu menampung dinamika organisasi yang semakin luas, profesional, dan multidimensional.

Morton Deutsch (1973), pakar konflik, menjelaskan bahwa konflik dapat mengarah pada kehancuran jika diselesaikan dengan pola kompetitif yang menutup ruang dialog. Sebaliknya, konflik dapat menjadi sumber energi positif bila ditempuh dengan pola kooperatif, yakni mengedepankan negosiasi, saling memahami kepentingan, dan mencari titik temu yang mempertahankan martabat semua pihak.

Dalam konteks "konflik" NU, keputusan Forum Sesepuh NU di Lirboyo, Kediri, beberapa waktu lalu merupakan titik penting. Para kiai sepuh menawarkan islah yang memulihkan marwah rais aam, memastikan tanfidziyah tetap menjalankan mandat eksekutif, sekaligus mengembalikan organisasi pada tradisi musyawarah sebagai mekanisme penyelesaian terbaik.

Pendekatan ini selaras dengan kerangka Deutsch bahwa konflik tidak harus mengakhiri relasi, tapi justru dapat memperbaikinya.

NU abad kedua

NU, kini memasuki fase baru. Dengan jutaan warga, ratusan pesantren besar, jejaring ekonomi, sekaligus ekspektasi umat yang berkembang, NU membutuhkan tata kelola yang adaptif, tetapi tetap menyatu dalam nilai keulamaan.

Ketegangan hari ini seharusnya menjadi pembuka ruang untuk evaluasi tentang bagaimana memperjelas batas otoritas syuriah dan tanfidziyah; bagaimana menata ulang kanal komunikasi antarpemimpin agar perbedaan tidak langsung bocor ke publik dan tentunya bagaimana membangun sistem organisasi modern, tanpa melepaskan tradisi.

Konflik hanya menjadi destruktif ketika disangkal, dibekukan, atau dipersonalisasi. Konflik menjadi produktif ketika dikelola secara lembaga, jujur, dan transparan.

NU memiliki tradisi penyelesaian konflik yang khas, yakni gegeran terlebih dahulu, lalu "ger-ger-an", situasi dimana tertawa bersama para kiai setelah perbedaan selesai. Tradisi ini bukan sekadar kehangatan emosional, melainkan pesan moral bahwa para pemimpin harus lebih besar dari persoalannya.

Jika pola itu kembali terjadi, maka konflik kali ini justru akan menjadi batu pijakan penting bagi NU untuk menemukan pola tata kelola organisasi di abad kedua. Hal terpenting bukan membungkam konflik, tetapi mengolahnya menjadi energi pembaruan untuk memungkinkan NU tetap menjadi jangkar peradaban di tengah dunia yang berubah cepat.

*) Bustomi adalah mahasiswa S3 Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga, Kader Penggerak NU dan Direktur Eksekutif Institute for Strategic and Political Studies (INTRAPOLS)

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire