Top
Begin typing your search above and press return to search.

Wahai santri, kuatkan diri dan jangan berkecil hati

Wahai santri, kuatkan diri dan jangan berkecil hati
X

Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menerima ratusan santri dari delapan pondok pesantren, di Istana Wakil Presiden Jakarta, Selasa (21/10/2025) (ANTARA/HO-Sekretariat Wakil Presiden)

Di banyak tempat di Indonesia, kata santri masih kerap dibayangi oleh stereotip lama. Dianggap kolot, kampungan, bahkan tertinggal dari kemajuan zaman. Masih ada yang memandang santri sekadar sosok bersarung, hidup di pondok sederhana, jauh dari gemerlap dunia modern.

Padahal di balik kesahajaan itu, tersimpan daya juang dan semangat kebangsaan yang telah mengalir jauh lebih lama dari usia republik ini sendiri. Santri bukanlah mereka yang ketinggalan, melainkan mereka yang sejak awal berada di barisan depan menjaga jiwa bangsa.

Sejarah Indonesia mencatat bahwa gerakan santri telah ada jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Mereka tumbuh dari lingkungan pesantren yang sederhana. Dinding bilik bambu, lampu minyak, kitab kuning, dan lantunan ayat suci yang tak pernah padam, hingga dini hari.

Di tempat itulah, nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan kecintaan pada tanah air ditempa. Pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu agama, melainkan juga kawah candradimuka pembentukan karakter cinta damai, tangguh, dan siap berkorban.

Dari rahim pesantren inilah lahir generasi yang berani berdiri tegak menghadapi penjajah dengan keyakinan spiritual yang kokoh.

Pemersatu bangsa

Ketika republik ini belum lahir, para santri telah lebih dulu mengibarkan semangat kebebasan. Di masa perjuangan, nama-nama, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Ahmad Dahlan, hingga KH Zainul Arifin, menjadi teladan pentingnya peran santri, tak hanya di langgar dan surau, tetapi juga di gelanggang perjuangan.

Resolusi Jihad yang dikumandangkan pada 22 Oktober 1945 di Surabaya, yang kini diperingati sebagai Hari Santri, bukan sekadar seruan keagamaan, melainkan panggilan suci untuk mempertahankan tanah air. Dari pesantrenlah lahir spirit "Hubbul wathan minal iman" atau cinta tanah air adalah bagian dari iman yang menjadi fondasi nasionalisme religius di negeri ini.

Mereka yang disebut santri tak hanya memegang kitab suci, tetapi juga memanggul senjata, menyiapkan logistik, menjadi kurir, perawat, hingga penyebar kabar perjuangan. Para santri tak mengenal pangkat atau pamrih. Mereka bergerak karena panggilan jiwa.

Dalam sejarah itu, pesantren tidak pernah lepas dari denyut kebangsaan. Ia menjadi ruang perlawanan kultural terhadap kolonialisme dan ruang pembentukan manusia merdeka, bukan hanya secara politik, tetapi juga spiritual. Sayangnya, setelah kemerdekaan diraih, peran santri seolah kembali dipinggirkan oleh modernitas. Di tengah gemuruh pembangunan, pesantren dianggap tak relevan dengan arus zaman.

Santri disebut tak marketable, tak memiliki keterampilan yang "menjual". Pandangan itu perlahan luntur, tapi belum sepenuhnya hilang. Padahal, bila ditelusuri, banyak santri justru menjadi bagian penting dalam pembangunan Indonesia modern.

Kita bisa menyebut KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, santri tulen yang mengajarkan kepada bangsa ini arti kemanusiaan, tanpa sekat. Bukan sekadar pemimpin politik, tetapi juga pemikir besar yang menjembatani tradisi pesantren dengan wacana global.

Ada pula KH Mustofa Bisri atau Gus Mus yang dengan kelembutan bahasanya menyejukkan hati banyak orang di tengah panasnya perdebatan sosial. Dari dunia hukum, ada Mahfud MD yang dengan ketegasannya membuktikan santri bisa menjadi penjaga konstitusi.

Dari dunia pendidikan, ada Haedar Nashir, Din Syamsuddin, hingga Said Aqil Siradj yang memimpin ormas besar dan mendorong pembaruan pemikiran Islam yang moderat. Kini, santri juga tampil di lini-lini baru yang mungkin tak pernah dibayangkan sebelumnya. Ada anak pesantren yang menjadi pengembang teknologi digital, programmer, hingga inovator sosial.

Beberapa alumni pesantren, kini juga mendirikan start-up berbasis pendidikan dan dakwah digital, memanfaatkan media sosial untuk menebarkan pengetahuan dan kebaikan. Di dunia olahraga, sejumlah punggawa Timnas Indonesia, seperti Evan Dimas Darmono dan Asnawi Mangkualam Bahar menjadi contoh betapa meluasnya peran santri di Indonesia.

Semua itu membuktikan kesan "kampungan" yang dulu dilekatkan, kini perlahan pudar, diganti dengan rasa hormat.

Pesantren hari ini telah banyak berubah. Ada yang membuka jurusan robotik, pengembangan kecerdasan buatan (AI), hingga desain grafis. Para santri belajar mengaji dan juga menulis kode pemprograman. Mereka belajar tafsir, tetapi juga mengelola media sosial.

Sementara, nilai-nilai lama, seperti kesederhanaan dan keikhlasan tetap dijaga, namun di dalamnya tumbuh keberanian baru untuk beradaptasi dengan dunia yang cepat berubah.

Sebab, hakikat santri adalah mereka yang terus belajar tanpa henti, sesuai hadis Nabi Muhammad SAW "Thalabul ‘ilmi faridhatun 'ala kulli muslimin wal muslimat" yang artinya "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan".

Santri untuk Indonesia

Dalam perjalanannya, pesantren dan santri tidak selalu mulus. Dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah kasus yang menyeret oknum di lingkungan pondok pesantren sempat menodai citra lembaga yang selama ini menjadi benteng moral bangsa.

Ada pondok pesantren yang dilaporkan terlibat kekerasan, penelantaran, bahkan pelecehan. Berita-berita itu menimbulkan luka dan rasa kecewa, terutama bagi para santri yang tulus menuntut ilmu.

Tapi penting untuk diingat, satu noda tidak boleh menutupi cahaya yang jauh lebih besar. Tidak semua pesantren serupa, tidak semua santri sama. Yang salah harus dihukum, tetapi pesantren sebagai institusi pendidikan tak boleh dihakimi secara serampangan.

Justru di tengah ujian semacam ini, nilai-nilai kesabaran dan keteguhan santri diuji. Santri sejati tak lari dari persoalan, namun sebaliknya harus memperbaikinya dengan cara yang bermartabat.

Pesantren harus membuka diri terhadap evaluasi, memperkuat sistem pengawasan, dan menumbuhkan budaya transparansi. Di sisi lain, masyarakat juga perlu memberi ruang bagi pesantren untuk berbenah. Hari Santri yang setiap tahun diperingati pada 22 Oktober harus menjadi momentum bagi para santri untuk mengingat kembali jati dirinya sebagai penjaga moral bangsa.

Kuatkan diri, jangan berkecil hati. Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama dari Gontor, KH Hasan Abdullah Sahal: "Meskipun harus berganti masinis, kereta harus tetap berjalan di atas rel". Dunia boleh berubah, tetapi nilai-nilai kesederhanaan, keikhlasan, dan cinta tanah air yang diwariskan para kiai dan pendahulu tidak boleh pudar.

Di tengah dunia yang semakin bising dengan hiruk-pikuk media sosial, santri bisa menjadi suara penyejuk. Di tengah krisis kejujuran, santri bisa menjadi teladan integritas. Dan di tengah pesimisme yang sering melanda generasi muda, santri bisa menjadi inspirasi bahwa kerja keras dan doa masih relevan untuk menaklukkan zaman.

Maka, wahai santri, jangan pernah minder dengan sarungmu, jangan merasa kecil karena hidup di pesantren. Di balik kesahajaanmu tersimpan kekuatan yang tak banyak dimiliki orang: keteguhan hati, kesabaran, dan semangat untuk terus belajar.

Bangsa ini lahir dari keberanian santri, dan mungkin saja masa depannya juga akan diselamatkan oleh santri-santri yang setia pada ilmunya dan cintanya pada Indonesia.

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire