Dorong gaya hidup berkelanjutan, peritel Mitra10 luncurkan program “Trade-In: Tukar Baru, Tambah Seru!”
Teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern, dengan berbagai produk elektronik yang memudahkan aktivitas sehari-hari. Namun, di balik manfaatnya, muncul pula tantangan serius terkait banyaknya elektronik bekas yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Sumber foto: Istimewa/elshinta.com.
Sumber foto: Istimewa/elshinta.com.
Teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern, dengan berbagai produk elektronik yang memudahkan aktivitas sehari-hari. Namun, di balik manfaatnya, muncul pula tantangan serius terkait banyaknya elektronik bekas yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan The Global E-Waste Monitor yang dirilis oleh United Nations Institute for Training and Research (UNITAR), total elektronik bekas global mencapai 64 juta ton pada tahun 2022, mengalami kenaikan sebesar 82% dibandingkan tahun 2010. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa pertumbuhan elektronik bekas terjadi lima kali lebih cepat dibandingkan dengan proses daur ulang yang terdokumentasi, memperlihatkan kesenjangan besar dalam pengelolaan elektronik bekas secara global.
UNITAR juga mencatat bahwa pada tahun 2022, jumlah elektronik bekas di Indonesia telah mencapai 1,9 juta ton, atau setara dengan 6,9 kilogram per kapita. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai penghasil sampah elektronik terbanyak di kawasan Asia Tenggara, dan peringkat keempat di benua Asia. Sebagai upaya untuk mengatasi hal ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2020 yang salah satunya membahas mengenai sampah elektronik, guna memastikan pengelolaan yang tepat agar tidak merusak lingkungan maupun membahayakan kesehatan masyarakat. Selain itu, melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 9 Tahun 2024, setiap individu yang menghasilkan elektronik bekas diwajibkan untuk mengurangi dan menanganinya secara bertanggung jawab.
Mitra10 (PT Catur Mitra Sejati Sentosa), yang berada di bawah naungan PT Catur Sentosa Adiprana Tbk (CSAP), meluncurkan program “Trade-In: Tukar Baru, Tambah Seru!”, sebuah inisiatif yang dihadirkan sebagai solusi nyata dalam mengatasi permasalahan penumpukan elektronik bekas di Indonesia. Melalui program ini, masyarakat diajak untuk berpartisipasi aktif dalam aksi mengurangi elektronik bekas dengan menukarkan barang elektronik yang sudah tidak digunakan di 14 toko Mitra10 yang tersebar di wilayah Jabodetabek dan mendapatkan voucher potongan harga hingga Rp500.000. Mitra10 bekerjasama dengan Rekosistem sebuah perusahaan yang menawarkan jasa pengelolaan sampah. Rekosistem dipilih sebagai mitra resmi daur ulang dalam program Trade-In ini karena kesamaan visi dalam mendorong pengelolaan elektronik bekas yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Rekosistem dipercaya dapat membantu memperluas jangkauan program sekaligus memastikan proses pengelolaan dapat dilakukan dengan baik.
Mitra10 menjadi peritel bahan bangunan pertama yang memperkenalkan program trade-in untuk mengatasi meningkatnya limbah elektronik.
Mitra10 meluncurkan program bertajuk “Trade-In: Tukar Baru, Tambah Seru!” yang mengajak konsumen untuk menukarkan barang elektronik lama mereka di 14 toko Mitra10 yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Seluruh barang elektronik yang terkumpul akan dipilah dan dikelola secara bertanggung jawab bekerja sama dengan Rekosistem, selaku recycle partner resmi Mitra10. Sebagai bentuk apresiasi, pelanggan yang berpartisipasi dalam program ini berhak mendapatkan voucher potongan harga hingga Rp500.000 untuk setiap penukaran produk elektronik lama mereka.
Andy Totong, President Director Mitra10, menegaskan, “Program ini merupakan wujud nyata komitmen kami dalam mendorong penerapan gaya hidup ramah lingkungan, sekaligus bentuk dukungan terhadap upaya Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan elektronik bekas. Melalui program ini, kami berupaya mengurangi jumlah barang elektronik yang berakhir di tempat pembuangan akhir dan mendukung terciptanya sistem pengelolaan elektronik bekas yang lebih berkelanjutan.”
Andy menambahkan, “Indonesia menghasilkan sekitar 1,8–2 juta ton limbah elektronik setiap tahun, dan sebagian besar berakhir di TPA (Tempat pembuangan sampah akhir) atau dikelola melalui sistem daur ulang informal. Banyak konsumen tidak mengetahui cara yang benar untuk membuang peralatan elektronik lama mereka, dan fasilitas daur ulang resmi yang ada sering kali sulit dijangkau atau kurang praktis.”
Mempelopori ekonomi sirkular di industri ritel bukanlah hal yang mudah karena membutuhkan transformasi besar di berbagai aspek. Namun, salah satu hambatan terbesar terletak pada perilaku konsumen.
Pertama, kesadaran konsumen terhadap manfaat ekonomi sirkular masih rendah. Banyak pelanggan masih mengutamakan kenyamanan dan harga murah dibandingkan keberlanjutan, sehingga sulit mendorong partisipasi dalam skala besar.
Tantangan lainnya adalah perubahan perilaku yang dibutuhkan. Banyak pelanggan masih menganggap mengembalikan produk lama atau mengikuti program trade in sebagai sesuatu yang merepotkan atau membutuhkan usaha ekstra. Pola pikir ini memperlambat adopsi dan mengurangi dampak inisiatif sirkular.
“Kami menawarkan solusi dengan memperhatikan tiga aspek yakni, meningkatkan kesadaran melalui edukasi, membuat sangat mudah dan praktis dan memberikan insentif yang nyata.” Papar Andy Totong dalam dialog pada acara SCG ECG Symposium 2025 di Hotel Ritz Charlton, Jakarta, Selasa (2/12).
“Kami di Mitra10 siap menyambut partisipasi masyarakat Indonesia dalam menyerahkan berbagai jenis barang elektronik yang sudah tidak terpakai, untuk kemudian diproses dan diolah menjadi barang yang bernilai guna kembali. Inisiatif ini merupakan bagian dari komitmen kami bersama SCG dalam menghadirkan solusi nyata untuk mengurangi penumpukan elektronik bekas di tempat pembuangan akhir, sekaligus memperkuat sistem dekarbonisasi yang bersifat sirkular,” tambah Andy.
Program Trade-In dari Mitra10 memiliki visi yang sejalan dengan prinsip ESG 4 Plus, yang merupakan strategi bisnis dari SCG dalam mewujudkan pertumbuhan hijau yang berkelanjutan, atau disebut sebagai Inclusive Green Growth. Adapun 4 nilai utama dari prinsip tersebut: mencapai nol bersih emisi (Set Net Zero), menciptakan produk-produk ramah lingkungan dan mewujudkan industri hijau (Go Green), menekan kesenjangan sosial (Reduce Inequality), dan merangkul kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan (Embrace Collaboration), dilengkapi dengan nilai transparansi dan tata kelola yang baik (Plus).




