Ekonom senior: Kerja sama Pertamina–Toyota soal bioetanol langkah cerdas
Rencana Toyota Motor Corporation mengembangkan ekosistem bioetanol di Indonesia bersama Pertamina mendapat sambutan positif dari kalangan ekonom.

Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Rencana Toyota Motor Corporation mengembangkan ekosistem bioetanol di Indonesia bersama Pertamina mendapat sambutan positif dari kalangan ekonom.
Ekonom senior The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip, menilai langkah itu sebagai strategi bisnis yang cerdas dan sejalan dengan arah kebijakan energi nasional.
“Saya kira betul ya, ini langkah cerdas. Karena nanti bioetanol yang diproduksi Pertamina akan lebih match dengan teknologi mayoritas kendaraan roda empat di Indonesia, yang sebagian besar merupakan produksi Toyota,” ujar Sunarsip kepada wartawan, Kamis (13/11).
Dorong Efisiensi dan Kurangi Impor
Menurut Sunarsip, pengembangan bioetanol akan memberi dampak positif terhadap neraca perdagangan Indonesia. Pasalnya, substitusi bahan bakar fosil dengan bioetanol akan mengurangi ketergantungan pada impor energi.
“Dari sisi ekonomi, pengembangan bioetanol akan berperan penting mengurangi impor sehingga bisa menolong neraca perdagangan,” ujarnya seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Supriyarto Rudatin, Kamis (13/11).
Selain itu, pemanfaatan sumber daya lokal dinilai akan menimbulkan efek berganda terhadap aktivitas ekonomi nasional.
“Petani akan mendapat harga yang lebih baik karena meningkatnya permintaan terhadap bahan baku seperti singkong dan tebu. Selain itu, akan tercipta lapangan kerja baru yang menambah sumber ekonomi,” papar Sunarsip.
Perlu Skenario Harga agar Terjangkau
Meski demikian, Sunarsip mengingatkan pemerintah untuk menyiapkan skenario kompensasi harga agar bioetanol dapat dijangkau masyarakat.
“Ini yang perlu dicermati pemerintah, bagaimana implikasinya terhadap fiskal. Produk ini nonsubsidi, tetapi harganya tetap harus disesuaikan dengan daya beli masyarakat,” imbuhnya.
Pasar Bioetanol Harus Terbuka Luas
Sunarsip juga menekankan pentingnya memperluas pasar bagi bioetanol hasil joint venture Pertamina–Toyota.
“Perusahaan ini kan bukan membuat mobil, tapi bahan bakar nabati. Jadi pasarnya jangan hanya untuk mobil Toyota, tetapi juga merek-merek lain,” jelasnya.
Ia menambahkan, bioetanol harus bisa diterima dan kompatibel dengan berbagai merek kendaraan, serta membuka peluang ekspor.
“Kalau bioetanolnya bisa diserap 100 persen pasar dalam negeri, bagus. Tapi kalau tidak, perlu dipikirkan untuk ekspor,” ujarnya.
Pertamina Tak Sendirian di Era Energi Hijau
Lebih lanjut, Sunarsip menilai langkah Pertamina menggandeng Toyota sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mendorong blending bahan bakar minimal 10%.
“Ke depan, Pertamina tidak akan sendirian. Perusahaan SPBU swasta juga akan berlomba-lomba mengembangkan produk serupa,” katanya.
Dukungan Pemerintah dan Arah Kebijakan Energi
Rencana kerja sama Pertamina dan Toyota merupakan hasil kunjungan Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, ke Jepang pada 7 November 2025.
Dalam kunjungan tersebut, Todotua bertemu Masahiko Fukushima, CEO of Asia Region Toyota Motor Corporation, untuk membahas pembentukan joint venture paling lambat pada 2026.
Rencana tersebut dinilai sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan pentingnya swasembada energi, ekonomi hijau, dan hilirisasi guna meningkatkan nilai tambah sumber daya alam dalam negeri.




