Top
Begin typing your search above and press return to search.

Jalan panjang hilirisasi garam NTB

Jalan panjang hilirisasi garam NTB
X

Buruh perempuan mengumpulkan garam saat panen di Desa Pijot, Kecamatan Keruak, Selong, Lombok Timur, NTB, Rabu (23/10). Sebagian besar tambak ikan bandeng didaerah tersebut beralih fungsi menjadi tambak garam karena warga menganggap hasil tambak garam lebih mudah dijual serta tidak memerlukan ongkos perawatan yang tinggi ketimbang tambak ikan bandeng. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/ed/Spt/13.)

Di banyak pesisir Indonesia, garam masih dipandang sebagai komoditas sederhana. Sekilas, butiran putih itu tampak sepele, hanya pelengkap dapur yang memberi rasa pada makanan.

Namun jika ditelusuri lebih jauh, garam adalah bagian penting dari rantai industri bernilai tinggi yang meliputi makanan, farmasi, hingga industri kimia. Hilirisasi garam, istilah yang kini kian sering disebut, sejatinya adalah jalan panjang yang dapat mengubah wajah ekonomi pesisir.

Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan garis pantai yang luas dan potensi lahan tambak melimpah, berada di posisi strategis untuk membuktikan bahwa garam bukan sekadar cerita kemiskinan, tetapi juga masa depan yang menjanjikan.

Di Bima, Dompu, dan Lombok Timur, masyarakat pesisir sudah lama mengenal garam sebagai denyut kehidupan. Namun selama ini, sebagian besar garam hanya dijual mentah tanpa pengolahan, sehingga nilainya rendah.

Beberapa tahun terakhir, NTB mulai menjadi laboratorium kecil hilirisasi garam. Sejumlah pabrik pengolahan berdiri di Bima dan Lombok. Garam rakyat yang dulu dijual apa adanya kini diproses menjadi produk bernilai tambah.

Tahapan pencucian, pengeringan modern, hingga pengemasan menjadikan garam lebih bersih, lebih higienis, dan siap masuk pasar industri. Penerapan teknologi ini tidak hanya meningkatkan mutu, tetapi juga meningkatkan harga jual, memberi ruang bagi petani untuk mendapatkan pendapatan lebih baik.

Namun, hilirisasi tidak berhenti pada teknologi. Ini juga soal membangun ekosistem industri, dari hulu hingga hilir. Tanpa bahan baku berkualitas dari tambak rakyat, pabrik kesulitan menghasilkan produk standar industri. Tanpa jaringan distribusi yang efisien, garam olahan tidak bisa mencapai pasar dengan tepat waktu. Dengan kata lain, hilirisasi menuntut transformasi menyeluruh, baik di tingkat produksi maupun tata niaga.


Produksi dan kebutuhan

Meskipun ada kemajuan, kesenjangan antara produksi dan kebutuhan masih nyata. Kapasitas produksi pabrik terbatas, kualitas garam rakyat bervariasi, dan rantai distribusi belum tertata dengan baik.

Secara nasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat bahwa kebutuhan bahan baku garam pada tahun 2025 mencapai 4,9 juta ton, sama dengan tahun sebelumnya. Pada 2023, kebutuhan sedikit lebih tinggi, yakni sekitar 5 juta ton, dengan lebih dari 3 juta ton digunakan sektor industri.

Di sisi produksi, rencana nasional 2025 memperkirakan 2,25 juta ton, dengan cadangan stok tambahan sekitar 836 ribu ton, sehingga total pasokan lokal hanya memenuhi sekitar 63 persen kebutuhan. Produksi 2024 tercatat 2,04 juta ton, melampaui target 2 juta ton.

Sementara itu, kontribusi NTB mencapai 180 ribu ton, meningkat dibanding 2024 sekitar 150 ribu ton dan 2023 yang diperkirakan 140 ribu ton. Meski meningkat, angka ini masih menjadi bagian kecil dari kebutuhan nasional, menunjukkan masih tingginya kebergantungan pada garam impor.

Hilirisasi garam seharusnya menjadi jembatan untuk menutup kesenjangan ini. Dengan pengolahan yang lebih baik, garam NTB bisa masuk ke pasar industri makanan, farmasi, bahkan ekspor.

Namun, perjalanan menuju kemandirian penuh masih panjang. Tantangan klasik berupa kualitas bahan baku, akses modal, sumber daya manusia, dan tata niaga, masih menghantui petani dan industri pengolahan. Tanpa perhatian serius, potensi besar NTB hanya akan tetap menjadi angka di atas kertas.

Selain itu, faktor lingkungan turut mempengaruhi produksi. Perubahan iklim mengganggu musim panen; musim kemarau yang memendek atau hujan yang lebih awal dapat mengurangi hasil tambak. Lahan yang tidak dikelola optimal juga mengurangi produktivitas. Di sinilah teknologi seperti geomembran dan sistem pengolahan modern menjadi penting, karena membantu menstabilkan kualitas garam sekaligus meminimalkan kehilangan akibat cuaca.


Kolaborasi

Hilirisasi garam bukan sekadar soal industri, tetapi juga menyentuh dimensi sosial. Petani tambak adalah wajah masyarakat pesisir yang selama ini termarjinalkan.

Peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi tidak hanya meningkatkan pendapatan, tetapi juga martabat mereka. Garam yang diolah dengan baik mengubah status petani dari produsen bahan mentah menjadi bagian dari rantai industri bernilai tinggi.

Keberhasilan hilirisasi tidak mungkin dicapai oleh satu pihak saja. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, koperasi, dan petani menjadi kunci. Contoh kecil sudah terlihat yakni pabrik di Bima menggandeng kelompok petani untuk memastikan pasokan bahan baku, sementara di Lombok, teknologi geomembran diperkenalkan melalui program bantuan pemerintah.

Langkah-langkah ini memperlihatkan bahwa kombinasi dukungan teknis, finansial, dan jaringan pasar dapat mulai mengatasi kesenjangan produksi dan kualitas.

Selain itu, hilirisasi juga berimplikasi pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Tenaga terampil diperlukan di bidang pengolahan, pengemasan, hingga pemasaran. Pelatihan dan pembinaan petani serta pekerja pabrik menjadi investasi jangka panjang agar industri garam NTB bisa mandiri.

Dengan keterampilan yang memadai, petani dapat meningkatkan kualitas produksi dan negosiasi harga, sementara pabrik dapat menghasilkan produk konsisten yang diterima pasar industri.

Swasembada garam nasional yang ditargetkan pada 2027 tidak hanya tentang angka, tetapi tentang manusia di balik produksi. Setiap langkah kecil yang diambil hari ini, baik itu modernisasi tambak, penguatan koperasi, maupun pengembangan SDM, akan menentukan masa depan.

Di tambak-tambak Bima dan Lombok, butiran garam putih sudah siap “naik kelas”. Dengan dukungan yang tepat, NTB bisa menjadi motor penting pencapaian swasembada garam, sekaligus menjadi simbol transformasi sosial-ekonomi masyarakat pesisir.

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire