Pengembangan obligasi daerah wujudkan kemandirian ekonomi

Foto: Eko Sulestyono/Radio Elshinta
Foto: Eko Sulestyono/Radio Elshinta
Pengembangan obligasi daerah tentu sangat bertalian erat dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, yakni dalam Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).
Pasal 18 ayat (2) mengamanatkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Sedangkan Pasal 18A ayat (2) menegaskan tentang pentingnya hubungan keuangan yang selaras dan adil antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan undang-undang.
Selain itu, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea keempat menegaskan bahwa tujuan bernegara adalah “untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”
“Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan mengembangkan obligasi daerah guna mewujudkan kemandirian ekonomi daerah dalam bingkai NKRI, karena dapat mempercepat pembangunan daerah sekaligus mengurangi ketimpangan fiskal antarwilayah,” kata H. Ferdiansyah, S.E., M.M. Sekretaris FPG MPR RI, Senin (1/12), seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Eko Sulestyono.
Ia menjelaskan, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan sistem desentralisasi memberikan ruang bagi daerah untuk berkembang secara mandiri.
Dalam bingkai NKRI, otonomi daerah memberikan wewenang yang cukup besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya, anggaran, dan kebijakan pembangunan. Namun, kendala utama dalam pelaksanaan pembangunan di daerah adalah keterbatasan anggaran.
Salah satu alternatif pembiayaan yang dapat digunakan untuk menutupi kekurangan tersebut adalah melalui penerbitan obligasi daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 154 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yaitu “Pembiayaan utang daerah terdiri atas: a. Pinjaman Daerah; b. Obligasi Daerah; dan c. Sukuk Daerah.”
Obligasi daerah adalah surat utang jangka menengah hingga panjang yang diterbitkan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan pembangunan.
Pengembangan instrumen ini diharapkan mampu memperkuat kemandirian ekonomi daerah serta mendukung pemerataan pembangunan nasional.
Kemandirian ekonomi daerah adalah kemampuan daerah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan secara mandiri, tanpa ketergantungan secara berlebihan kepada dana transfer dari pemerintah pusat.
Hal ini mencakup kemandirian dalam pengelolaan sumber daya alam, pajak dan retribusi daerah, serta kemampuan mengakses sumber pembiayaan lain yang sah.
Meskipun otonomi daerah telah berjalan lebih dari dua dekade, tetapi banyak daerah masih bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Adapun beberapa tantangan yang dihadapi daerah dalam mewujudkan kemandirian ekonomi daerah antara lain: keterbatasan sumber daya fiskal, lemahnya kapasitas perencanaan dan penganggaran, rendahnya inovasi pembiayaan daerah, dan ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah pusat.
“Dalam konteks ini, pengembangan obligasi daerah dapat menjadi solusi strategis untuk mengurangi ketergantungan tersebut,” tambahnya.
Selain itu, pengembangan obligasi daerah juga dimaksudkan untuk mendorong daerah-daerah yang memiliki potensi dari segi kapasitas fiskal dan dari sisi pengelolaan keuangan yang baik, untuk menggunakan alternatif pembiayaan melalui obligasi daerah sehingga dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan percepatan pembangunan infrastruktur daerah.
“Untuk itu, diperlukan koordinasi dan integrasi dari seluruh pemangku kepentingan dalam pengembangan obligasi daerah,” tambahnya.
Obligasi daerah (Municipal Bonds) menjadi instrumen penting dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur publik di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan Asia.
Melalui penerbitan obligasi daerah di negara tersebut dapat digunakan untuk pembiayaan proyek vital dan strategis seperti pembangunan jalan, penyediaan air bersih, transportasi umum, hingga proyek ramah lingkungan yang dibiayai oleh obligasi hijau (Green Bonds).
Dana yang dihasilkan dari penerbitan obligasi hijau dimanfaatkan untuk mendanai proyek-proyek hijau seperti energi terbarukan, transportasi ramah lingkungan dan pengelolaan limbah berkelanjutan.
Di negara Amerika Serikat, beberapa kota seperti Santa Fe dan San Diego juga menggunakan dana yang berasal dari obligasi daerah untuk meningkatkan infrastruktur air dan membangun pabrik desalinasi demi ketahanan air jangka panjang.
Selain itu, di negara seperti Kanada, Inggris, Swedia, program obligasi hijau mendukung inisiatif yang berfokus pada keberlanjutan dan mitigasi perubahan iklim.
Dengan demikian, obligasi daerah tidak hanya berperan dalam pembangunan ekonomi lokal, tetapi juga mendukung pembangunan berkelanjutan demi masa depan yang mengutamakan kesejahteraan rakyat dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Sebagai penutup, pembangunan daerah yang mandiri tidak hanya mempercepat kemajuan wilayah tetapi juga memperkuat struktur dan bangunan NKRI. Obligasi daerah adalah instrumen strategis sebagai alternatif menuju arah tersebut.
Jika dikelola dengan tepat, obligasi daerah bukan hanya dapat menjadi instrumen fiskal yang penting bagi daerah sebagaimana amanat konstitusi UUD NRI Tahun 1945, tetapi juga merupakan simbol kepercayaan dan kematangan tata kelola pemerintahan daerah yang baik (good governance) dalam kerangka NKRI.
Untuk mengakhiri sambutan ini, atas nama Pimpinan Fraksi Partai Golkar MPR RI, saya menyatakan acara Lokakarya Akademik ini kami buka secara resmi (ketuk palu 4 kali).
“Semoga acara ini berjalan lancar serta bermanfaat bagi pengembangan ekonomi daerah dalam bingkai NKRI” pungkasnya.




