Top
Begin typing your search above and press return to search.

Penyaluran bansos di Tegal dikeluhkan warga, diduga tak tepat sasaran

Polemik penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Kabupaten dan Kota Tegal kian menguat. Selain ketidaktepatan data penerima, muncul dugaan adanya pemotongan bantuan di sejumlah titik dengan alasan “pemerataan bagi warga yang tidak mendapat bantuan”.

Penyaluran bansos di Tegal dikeluhkan warga, diduga tak tepat sasaran
X

Sumber foto: Hari Nurdiansyah/elshinta.com.

Polemik penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Kabupaten dan Kota Tegal kian menguat. Selain ketidaktepatan data penerima, muncul dugaan adanya pemotongan bantuan di sejumlah titik dengan alasan “pemerataan bagi warga yang tidak mendapat bantuan”. Situasi ini menambah panjang daftar persoalan dalam distribusi bansos di lapangan.

Warga mengeluhkan bahwa proses pendistribusian tidak hanya tidak tepat sasaran, tetapi juga tidak transparan. Mereka menilai bantuan yang seharusnya diterima utuh malah ada pemotongan dengan dalih untuk dibagikan kepada warga lain yang tidak terdaftar sebagai penerima. Praktik ini menimbulkan pertanyaan mengenai mekanisme resmi serta pihak yang berwenang melakukan pembagian tersebut.

Di sisi lain, ketidaktepatan data semakin terlihat jelas. Temuan lapangan menunjukkan bahwa beberapa penerima yang dinilai mampu tetap mendapatkan bantuan, termasuk seorang pegawai dan pemilik butik. Sementara warga yang kondisinya jauh lebih membutuhkan justru tidak menerima apa pun.

Salah seorang warga yang memilih tidak disebutkan namanya, sebelumnya merupakan penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Namun setelah kedua orang tuanya meninggal, bantuan tersebut terhenti tanpa penjelasan apa pun.

"Dulu dapat PKH, tapi setelah ibu dan bapak meninggal, bantuannya langsung hilang. Saya dan adik akhirnya berhenti sekolah karena tidak ada biaya," ungkapnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Hari Nurdiansyah, Rabu (3/12).

Ia kini bekerja serabutan dengan penghasilan hanya sekitar Rp30 ribu per hari. "Itu buat makan berdua. Barang-barang rumah banyak yang sudah dijual untuk kebutuhan," tambahnya.

Warga ini juga menyebut bahwa meski namanya pernah tercatat, ia tidak pernah menerima bantuan utuh karena ada potongan yang dilakukan oleh oknum dengan dalih untuk “dibagikan kepada warga lain”.

Selain itu, beberapa warga lain mengaku menerima bantuan yang jumlahnya tidak sesuai aturan. Mereka diminta memberikan sebagian dari dana atau paket bantuan kepada pihak tertentu yang mengklaim bahwa hal tersebut dilakukan demi pemerataan. Namun warga tidak pernah mendapatkan penjelasan resmi dari pemerintah desa ataupun dinas terkait.

Saat dikonfirmasi, salah satu perangkat desa justru mengaku tidak mengetahui adanya persoalan tersebut. Ia menegaskan bahwa pendataan bansos dilakukan oleh pusat, dan desa hanya menerima data yang sudah ditetapkan.

"Saya tidak tahu soal itu, pendataannya dari pusat. Desa hanya menerima data penerima yang sudah jadi," ujarnya singkat.

Pernyataan ini menunjukkan adanya ketidaksinkronan peran antara pusat dan desa, serta lemahnya pengawasan terhadap distribusi di lapangan. Tanpa mekanisme kontrol yang jelas, dugaan pemotongan dan penyimpangan distribusi bantuan rawan terjadi.

Warga berharap pemerintah segera turun tangan melakukan verifikasi ulang secara menyeluruh terhadap Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), termasuk memeriksa pihak yang diduga melakukan pemotongan bantuan. Transparansi, pembaruan data, dan pengawasan yang ketat menjadi tuntutan utama agar bansos tepat sasaran serta tidak dimanfaatkan pihak tertentu.

Sumber : Radio Elshinta

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire