Refleksi ekonomi 2025: CORE Indonesia nilai pemulihan parsial di tengah tekanan global

Pekerja di pabrik
Pekerja di pabrik
Sepanjang 2025, perekonomian Indonesia bergerak dinamis di tengah tekanan global, dengan pertumbuhan ekonomi triwulan III 2025 sebesar 5,04 persen secara tahunan menurut BPS, meski masih dibayangi tantangan daya beli dan inflasi pangan.
Kebijakan dan perekonomian nasional sepanjang 2025 dinilai berjalan sangat dinamis, dengan pemulihan yang belum sepenuhnya merata di seluruh indikator ekonomi.
Direktur Eksekutif Core Indonesia Muhammad Faisal mengatakan, meski pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III 2025 mencapai 5,04 persen year on year, kondisi ekonomi domestik masih menghadapi tekanan dari sisi kebijakan awal tahun dan gejolak global.
“Sepanjang 2025 ini perekonomian kita sangat dinamis, bahkan lebih terasa naik turunnya dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, terutama karena sejumlah kebijakan fiskal di awal tahun yang cukup mempengaruhi daya dorong ekonomi,” ujar Faisal dalam wawancara Radio Elshinta Edisi Pagi, Rabu (31/12/2025).
Ia menjelaskan, pada semester pertama 2025, ekonomi nasional sempat berjalan terseok akibat realokasi anggaran dan kebijakan perpajakan yang berdampak pada sektor pariwisata, perhotelan, serta daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Pemotongan anggaran dan transfer ke daerah ikut menekan aktivitas ekonomi, terutama di sektor-sektor yang bergantung pada belanja pemerintah,” katanya kepada News Anchor Telni Rusmitantri.
Memasuki paruh kedua 2025, terutama pada triwulan III, Faisal menilai mulai muncul sinyal perbaikan meski diiringi ketidakpuasan publik yang memicu aksi demonstrasi.
“Pertumbuhan ekonomi memang masih di kisaran 5 persen, tetapi ketimpangan dan sensitivitas kebijakan terhadap kondisi masyarakat memicu reaksi sosial yang berdampak ke sejumlah sektor usaha,” ucapnya.
Menurut Faisal, perbaikan mulai terlihat pada triwulan IV 2025 seiring peningkatan konsumsi domestik menjelang Natal dan Tahun Baru, tercermin dari kenaikan indeks penjualan ritel dan ekspansi industri manufaktur.
“Dalam empat bulan terakhir, industri manufaktur kembali ekspansi karena dorongan permintaan domestik, bukan dari ekspor yang justru tertekan kondisi global,” jelasnya.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa perbaikan tersebut belum dapat disebut sebagai pemulihan penuh karena masih dipengaruhi faktor musiman.
“Kita perlu melihat setelah Nataru 2026 apakah perbaikannya stabil atau kembali bergejolak, baru bisa disimpulkan efektivitas stimulus kebijakan,” katanya.
Dari sisi inflasi, Faisal menilai kenaikan inflasi dari 0,76 persen pada awal 2025 menjadi 2,72 persen pada November dipicu oleh peningkatan permintaan dan tekanan harga pangan non-beras.
“Inflasi volatile food seperti cabai dan bawang justru menyumbang tekanan terbesar, meski pasokan beras relatif terjaga sepanjang tahun,” ujarnya.
Ia menambahkan, meski Pemerintah dan Bank Indonesia telah melonggarkan kebijakan fiskal dan moneter, dampaknya terhadap daya beli masyarakat masih terbatas.
“Upah riil pekerja, termasuk guru, masih terkontraksi, tabungan masyarakat menurun, dan kredit konsumsi belum kembali ke level historis, sehingga pemulihan ekonomi 2025 masih bersifat parsial,” tutup Faisal.
Penulis: Steffi Anastasia/Mgg/Rap




