Regenerasi petani mendesak, kolaborasi jadi kunci hadapi tantangan pertanian
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Provinsi Jawa Timur, Sumrambah, menyoroti sejumlah persoalan mendesak yang dihadapi mayoritas petani di Indonesia, mulai dari keterbatasan lahan, sumber daya manusia, permodalan, hingga teknologi.

Sumber foto: Supriyarto Rudatin/elshinta.com.
Sumber foto: Supriyarto Rudatin/elshinta.com.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Provinsi Jawa Timur, Sumrambah, menyoroti sejumlah persoalan mendesak yang dihadapi mayoritas petani di Indonesia, mulai dari keterbatasan lahan, sumber daya manusia, permodalan, hingga teknologi.
Hal itu disampaikannya dalam Seminar Nasional memperingati Hari Tani Nasional bertajuk “Bumi Lestari, Pertanian Berdikari” dengan tema “Kembali ke Sawah, Menyemai Masa Depan” yang digelar di Sekolah Partai DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (24/9/2025).
Menurut Sumrambah, kolaborasi lintas pihak menjadi solusi penting. Di Jawa Timur, KTNA menggandeng kelompok tani, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga keuangan, hingga offtaker untuk mengelola sawah secara bersama-sama.
“Kami menyatukan beberapa petani dalam satu hamparan luas sawah yang kemudian dikelola bersama. Kami hubungkan dengan offtaker dan universitas untuk pengembangan teknologi. Program ini sudah berjalan hampir lima tahun, dan hasilnya mulai terasa,” jelasnya.
Meski tidak mudah, lanjut Sumrambah, kerja gotong royong mulai menampakkan hasil. Peningkatan kualitas SDM dan kemampuan memanfaatkan teknologi membuat petani lebih percaya diri.
“Beban tanggung jawab bukan hanya di pundak petani, tapi di pundak kita semua sebagai anak bangsa,” tegasnya.
Selain itu, ia menyoroti rendahnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian karena dianggap kurang menguntungkan.
“Apa yang kita lakukan hari ini adalah untuk menarik anak-anak muda masuk ke sektor pertanian. Saat ini 70 persen petani kita berusia di atas 40 tahun,” tambahnya seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Supriyarto Rudatin, Rabu (24/9).
Sementara itu, Bupati Ngawi Ony Anwar Harsono menekankan pentingnya inovasi dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Sejak 2021, Pemkab Ngawi mendorong penggunaan pupuk organik, yang terbukti memperbaiki kondisi tanah dan menaikkan indeks pertanaman.
“Setelah menggunakan pupuk organik, kondisi tanah semakin baik. Indeks pertanaman bisa mencapai 2,48, salah satu yang tertinggi,” ujarnya.
Ony juga mengingatkan pentingnya regenerasi petani karena jumlahnya terus menurun.
“Jumlah petani dari 29 juta kini tinggal 28 juta. Regenerasi menjadi sangat penting bagi kita,” ucap Ony.
Dari sisi riset, Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN, Yudhistira Nugraha, menyoroti tingginya biaya pelepasan varietas unggul hasil pemuliaan yang bisa mencapai ratusan juta rupiah.
“Proses pelepasan varietas ini sangat panjang dan biayanya mahal. Padahal ini penting untuk melindungi petani,” jelasnya.
Yudhistira mendorong agar regulasi mengenai biaya pelepasan varietas direvisi, termasuk melalui peran legislatif dan partai politik seperti PDIP.
“Di negara lain, seluruh biaya ditanggung pemerintah. Bahkan di Amerika, pelepasan varietas dilakukan oleh asosiasi penangkar benih, bukan pemerintah,” katanya.
Seminar Nasional ini menjadi ajang konsolidasi berbagai pihak untuk membahas kemandirian pangan nasional, sekaligus menarik minat generasi muda agar melihat pertanian sebagai sektor yang menjanjikan.