Top
Begin typing your search above and press return to search.

Tentang dana Rp200 triliun dan saatnya fokus pada UMKM

Tentang dana Rp200 triliun dan saatnya fokus pada UMKM
X

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan keterangan pers terkait pencairan dana pemerintah di Jakarta, Jumat (12/9/2025). Dalam keterangannya, Menkeu cairkan dana pemerintah senilai Rp200 triliun ke lima bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) pada Jumat sore ini. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa.

Lembaga keuangan dalam perekonomian dapat diibaratkan sebagai penyuntik darah yang mengalirkan energi kehidupan ke seluruh tubuh. Bertugas memastikan setiap sel mendapat nutrisi agar tetap sehat, tumbuh, dan berdaya.

Begitu pula likuiditas dalam bentuk kredit, pembiayaan, dan modal, yang menjadi aliran utama bagi kegiatan usaha di Indonesia. Tanpa aliran ini, ekonomi bisa melemah, bahkan terhenti.

Analogi inilah yang tampaknya menjadi inspirasi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ketika memutuskan untuk memanfaatkan dana Sisa Lebih Anggaran (SAL) yang selama ini mengendap di Bank Indonesia, dengan menempatkan Rp200 triliun ke bank-bank BUMN.

Harapannya sederhana tapi strategis: likuiditas bank bertambah, kredit ke sektor riil mengalir lebih deras, investasi meningkat, lapangan kerja tercipta, dan pertumbuhan ekonomi semakin cepat. Secara konsep, kebijakan ini menunjukkan optimisme pemerintah untuk menjadikan SAL sebagai instrumen pemulihan ekonomi. Namun, agar benar-benar berdampak luas, pelaksanaannya perlu dirancang lebih inklusif.

Tantangan terbesar terletak pada kenyataan bahwa sektor riil di tanah air yang masih menghadapi permintaan yang terbatas. Industri manufaktur, misalnya, belum sepenuhnya pulih, sehingga ekspansi usaha baru masih berjalan lambat.

Dalam kondisi ini, bank cenderung berhati-hati. Alih-alih menyalurkan kredit ke sektor riil, mereka lebih memilih menempatkan dana di instrumen keuangan yang lebih aman atau ke proyek-proyek besar milik korporasi mapan. Risiko inilah yang bisa membuat manfaat penempatan SAL menjadi kurang optimal jika hanya berputar dalam lingkaran bisnis besar.

Padahal, potensi terbesar justru ada pada 64,5 juta pelaku usaha mikro dan kecil yang mewakili 99,6 persen pelaku usaha di Indonesia. Jika mereka mendapatkan akses pembiayaan yang memadai, dampaknya tidak hanya meningkatkan skala usaha, tetapi juga membuka lapangan kerja baru dan memperkuat daya beli masyarakat.

Dengan demikian, kebijakan yang terlihat top-down ini bisa diimbangi dengan strategi yang menyentuh langsung ekonomi rakyat di akar rumput.

Memperluas Distribusi

Untuk itu, pemanfaatan SAL sebaiknya tidak hanya berfokus pada bank BUMN. Ekosistem lembaga keuangan rakyat seperti koperasi, BPR, dan fintech komunitas layak mendapatkan dukungan agar bisa menjadi penyalur kredit produktif.

Dengan penjaminan kredit, penyertaan modal, atau penguatan kapasitas manajemen, lembaga-lembaga ini bisa memperluas akses pembiayaan ke pelosok, menjangkau para pelaku usaha yang sering luput dari radar perbankan besar.

Inilah yang akan membuat sistem keuangan lebih beragam, tidak hanya bergantung pada satu jenis lembaga, dan pada saat yang sama memperkecil risiko monokultur perbankan. Selain memperluas saluran pembiayaan, SAL juga bisa diarahkan untuk memperkuat daya beli masyarakat. Karena masalah ekonomi kita bukan hanya di suplai modal, melainkan juga lemahnya permintaan.

Bila masyarakat memiliki kemampuan konsumsi yang lebih baik, usaha akan kembali bergairah. Pemerintah dapat mengalokasikan sebagian SAL untuk program transfer tunai bersyarat, subsidi pangan bergizi, atau hibah modal bagi koperasi produktif.

Program-program seperti ini akan langsung memperkuat kesejahteraan dasar rakyat sekaligus menggerakkan roda ekonomi dari sisi permintaan. Pengalaman menunjukkan bahwa ketika masyarakat memiliki akses terhadap pembiayaan dan kebutuhan dasarnya terpenuhi, kreativitas dan produktivitas meningkat.

UMKM lebih percaya diri mengembangkan usaha, koperasi lebih inovatif dalam menyediakan layanan, dan daya saing nasional ikut terangkat. Maka SAL dapat menjadi instrumen untuk menumbuhkan energi positif semacam itu. Proyek strategis seperti Koperasi Desa Merah Putih dan program MBG juga dapat diposisikan sebagai model yang menghubungkan penyaluran dana publik dengan kebutuhan nyata masyarakat.

Dimensi Moral

Dengan tata kelola yang partisipatif dan transparan, proyek-proyek ini bisa membuktikan bahwa anggaran negara dapat digunakan secara efektif untuk menciptakan kesejahteraan kolektif. Pendekatan yang berbasis komunitas akan memastikan manfaat tidak berhenti di tingkat korporasi besar, melainkan sampai ke tangan rakyat.

Kebijakan pemanfaatan SAL sesungguhnya membuka peluang besar untuk mempercepat transformasi ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang sehat adalah pertumbuhan yang dirasakan secara nyata oleh rakyat banyak, bukan sekadar angka dalam laporan atau tabel statistik.

Dengan mengalirkan dana ke sektor-sektor yang benar-benar produktif dan inklusif, SAL bisa menjadi “darah segar” yang menghidupkan kembali jutaan usaha kecil, memperkuat koperasi, dan mendorong lahirnya inovasi di berbagai lini.

Dalam konteks ini, kebijakan keuangan negara bukan hanya soal teknis fiskal, tetapi juga memiliki dimensi moral. Bagaimana uang rakyat dikelola dan disalurkan akan menentukan seberapa jauh negara hadir untuk rakyatnya. Menyalurkan dana kepada rakyat banyak berarti menyalurkan harapan, memberdayakan potensi, dan memperkuat fondasi bangsa.

Optimisme bahwa SAL bisa menjadi instrumen perubahan harus dijaga. Dengan sinergi yang baik antara pemerintah, lembaga keuangan, dan masyarakat, Rp400 triliun dana SAL yang selama ini mengendap bisa menjadi energi pembangunan yang nyata.

Alih-alih hanya memperbesar neraca bank, dana itu bisa menjadi penggerak ekonomi rakyat, mempersempit kesenjangan, dan menumbuhkan rasa percaya bahwa pertumbuhan bukan hanya milik segelintir orang, tetapi milik bersama.

Pertumbuhan sejati selalu berakar pada kekuatan rakyat. Ketika dana SAL diarahkan untuk memperkuat daya beli, mendukung UMKM, dan membangun ekosistem keuangan yang beragam, maka yang dihasilkan bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pertumbuhan sosial, keadilan, dan harapan.

Kebijakan seperti ini akan menjadi bukti bahwa pembangunan Indonesia tidak hanya bertujuan mengejar angka, tetapi benar-benar ingin menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh warganya.

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire