Dukung putusan MK, Boni Hargens tekankan kapolri bukan jabatan politik
Boni Hargens dukung putusan MK bahwa Kapolri bukan jabatan politik. Ia tekankan masa jabatan seharusnya fleksibel berdasarkan hak prerogatif presiden, bukan dibatasi periodik.

Elshinta/ ADP
Elshinta/ ADP
Analis politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang uji materi UU Polri yang memutuskan pembatasan masa jabatan Kapolri. Menurutnya, putusan MK tersebut sudah tepat untuk membedakan antara Polri sebagai bagian integral dari negara dengan jabatan-jabatan politik yang bersifat temporer dan terikat pada siklus pemilihan umum.
"Saya sepakat dengan MK bahwa Polri itu bagian dari negara, bukan sekadar alat kelengkapan negara sehingga jabatan Kapolri tidak bisa dibatasi seperti jabatan politik. Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, maka biarkan itu menjadi hak prerogatif presiden sebagai kepala negara," ujar Hargens kepada wartawan, Kamis (13/11/2025).
Hargens mengatakan Polri bukan sekadar alat kelengkapan negara, tetapi merupakan bagian fundamental dari struktur negara itu sendiri. Karena itu, kata dia, kepemimpinannya tidak dapat diperlakukan sama dengan jabatan politik yang bersifat sementara.
"Nah, kita bicara fleksibilitas hak prerogatif. Masa jabatan Kapolri tidak perlu diatur secara periodik seperti maksimal 5 tahun. Sebaliknya, durasi jabatan harus ditentukan oleh kebutuhan negara melalui kewenangan prerogatif Presiden sebagai kepala negara," ujarnya
Hargens menilai pendekatan yang fleksibel memungkinkan negara untuk beradaptasi dengan berbagai kondisi dan tantangan keamanan yang dinamis, tanpa terkungkung oleh batasan waktu yang artifisial. Menurut Hargens, pembatasan masa jabatan Kapolri secara kaku justru dapat kontraproduktif.
"Dalam konteks penegakan hukum dan pemeliharaan keamanan nasional, kontinuitas kepemimpinan yang efektif seringkali lebih penting daripada rotasi yang dipaksakan oleh kalender. Seorang Kapolri yang telah membangun sistem, memahami kompleksitas tantangan keamanan, dan memiliki hubungan kerja yang baik dengan berbagai stakeholder, dapat memberikan kontribusi lebih besar jika diberikan waktu yang cukup untuk menyelesaikan program-programnya," jelas dia.
Hargens menegaskan bahwa putusan MK ini membawa implikasi yang luas dan mendalam terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya dalam hal pemahaman tentang kedudukan lembaga-lembaga negara dan hubungannya dengan kekuasaan eksekutif. Pasalnya, putusan ini memperjelas batasan antara institusi negara yang bersifat permanen dengan jabatan-jabatan politik yang bersifat temporer.
"Saya menilai putusan MK ini memperkuat independensi Polri sebagai institusi penegak hukum yang tidak terikat pada kepentingan politik jangka pendek pemerintahan tertentu," tutur dia.
Selain itu, lanjut Boni, MK telah Memberikan kejelasan mengenai hubungan antara Presiden dan Kapolri yang bersifat konstitusional, bukan hubungan atasan-bawahan dalam struktur kabinet. Menurut dia, di dalamnya tetap ada penegasan prinsip checks and balances, bahwa meskipun Presiden memiliki prerogatif, pengangkatan Kapolri tetap memerlukan persetujuan DPR, menjaga keseimbangan kekuasaan.
"Putusan ini juga merefleksikan kematangan demokrasi Indonesia yang mampu membedakan antara kontrol demokratis dengan politisasi institusi negara. Kontrol demokratis diperlukan dan dijalankan melalui mekanisme persetujuan DPR, namun hal tersebut tidak berarti institusi seperti Polri harus tunduk pada siklus politik atau menjadi instrumen politik pemerintah yang sedang berkuasa," pungkas Hargens.
Diketahui, MK memutuskan menolak gugatan UU Polri terkait pembatasan masa jabatan Kapolri maksimal 5 tahun. Putusan ini dibacakan majelis hakim MK terhadap dua perkara, yakni perkara nomor 19/PUU-XXIII/2025 dan 147/PUU-XXIII/2025 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025)
Dalam pertimbangannya, MK membahas soal tidak adanya frasa 'setingkat menteri' untuk mendefinisikan posisi seorang Kapolri di UU Polri. MK mengatakan hal itu merupakan hal penting karena pelabelan 'setingkat menteri' menunjukkan kepentingan politik Presiden akan dominan dalam menentukan seorang Kapolri.
MK mengatakan pemohon yang meminta agar pengangkatan dan pemberhentian Kapolri mengikuti berakhirnya masa jabatan presiden dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet, malah dapat menggeser posisi Kapolri menjadi anggota kabinet.
MK menegaskan menggeser jabatan Kapolri menjadi anggota kabinet tidak sejalan dengan keberadaan Polri sebagai alat negara dalam UUD 1945.
"Menurut mahkamah, jabatan Kapolri adalah jabatan karier profesional yang memiliki batas masa jabatan namun tidak ditentukan secara periodik dan tidak secara otomatis berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden," ujar hakim MK.
(Arie Dwi Prasetyo)




