KPK dalami pegawai Kemenaker terima uang THR dari hasil pemerasan TKA
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami pegawai pada Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kementerian Ketenagakerjaan menerima uang tunjangan hari raya (THR) dari hasil pemerasan terhadap tenaga kerja asing (TKA).

Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami pegawai pada Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kementerian Ketenagakerjaan menerima uang tunjangan hari raya (THR) dari hasil pemerasan terhadap tenaga kerja asing (TKA).
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan pendalaman tersebut dilakukan saat memeriksa dua orang mantan Subkoordinator di Direktorat PPTKA Kemenaker berinisial MK dan EPI sebagai saksi kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan rencana penggunaan TKA atau RPTKA (11/9).
“Penyidik mendalami terkait penerimaan uang tidak resmi dari para agen TKA, serta uang THR tiap tahun yang diterima oleh hampir seluruh pegawai pada Direktorat PPTKA, yang mana uangnya diduga berasal dari para agen TKA,” ujar Budi kepada jurnalis di Jakarta, Kamis.
Selain itu, kata dia, KPK mendalami pembelian-pembelian aset oleh tersangka kasus tersebut yang diduga berasal dari uang tidak resmi yang diterima dari para agen TKA.
Pada 5 Juni 2025, KPK mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA.
KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.
Apabila RPTKA tidak diterbitkan Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan demikian, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.
Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.
KPK lantas menahan delapan tersangka tersebut. Kloter pertama untuk empat tersangka pada 17 Juli 2025, dan kloter kedua pada 24 Juli 2025.