Legislator soroti selisih nilai kerugian negara dalam kasus Pertaminan
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdullah mempertanyakan selisih kerugian keuangan dan ekonomi negara dari kasus korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).

Sumber foto: Istimewa/elshinta.com.
Sumber foto: Istimewa/elshinta.com.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdullah mempertanyakan selisih kerugian keuangan dan ekonomi negara dari kasus korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).
Saat tahap ekpose awal penyelidikan, Kejagung menyebut kerugian sekitar Rp968,5 triliun dan bahkan bisa lebih, namun dalam surat dakwaan, Kejagung menyebut kerugian hanya mencapai Rp285,1 triliun.
“Sekarang masyarakat bertanya-tanya, mengapa selisih kerugian dari kasus korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina yang ditangani Kejagung itu sangat besar? Jangan salahkan masyarakat apabila curiga atau berspekulasi atas hal ini,” ujar Abduh sapaan akrabnya, Kamis (16/10/2025).
Selain perhitungan selisih kerugian yang besar, Abduh juga mempertanyakan pernyataan Jaksa dalam dakwaannya yang menegaskan tidak ditemukannya praktik oplosan bahan bakar. Padahal sebelumnya pernyataan ini sempat memicu kegaduhan di publik.
“Lebih dari itu, pernyataan dari Kejagung tersebut sempat membuat masyarakat kecewa dan tidak percaya dengan Pertamina. Beberapa masyarakat bahkan sampai mengisi bahan bakarnya di SPBU selain Pertamina, ini tentu merugikan negara,” katanya.
Menjadi catatan penting, Abduh menegaskan Komisi III selaku mitra kerja tentu mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Kejagung. Namun, Abduh meminta praktiknya oleh Kejagung mesti dilakukan profesional, bukan dengan mengedepankan sensasi dan bombastis untuk pemberitaan media.
“Kejagung dan aparat penegak hukum (APH) mesti profesional, transparan dan akuntabel dalam menindak kasus korupsi yang ada. Jangan membuat masyarakat bingung, panik dan menimbulkan ketidakpercayaan yang berisiko menghadirkan kerugian baru lainnya yang tidak terkait dengan kasus korupsi yang sedang diusut,” ucapnya.
Sebagai solusi untuk kedepannya, Abduh pun mengusulkan agar Kejagung dan APH dapat bersikap cermat dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi ke publik. Mulai dengan memperhatikan detail hal teknis hingga substansi dari kasus korupsi yang ditangani.
“Artinya Kejagung dan APH dapat bekerja sama dengan pihak lain seperti PPATK misalnya sebelum mengumumkan kerugian dari kasus korupsi yang ditangani. Selain itu juga bisa berkolaborasi dengan pakar atau akademisi jika dibutuhkan untuk mendalami suatu hal teknis yang belum dimengerti,” katanya.
Diketahui berdasarkan surat dakwaan yang dibacakan oleh jaksa pada kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero). Kerugian keuangan dan perekonomian negara dalam kasus yang menjerat Muhammad Kerry Adrianto Riza, anak dari pengusaha minyak Riza Chalid dan beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, beserta empat terdakwa lainnya, disebut mencapai Rp285,1 triliun.
Selain itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna mengatakan istilah yang dipakai dalam produksi BBM bukan 'oplosan'. Tapi, kata Anang, 'blending' atau pencampuran komponen bahan bakar dengan kadar oktan (RON) yang berbeda.
"Jadi memang gini, tidak ada istilah oplosan sekarang sebetulnya, kan blending-an. Ibaratnya blending-an dari RON 88 atau RON 92 yang memang dijual dengan harga di bawah, ya bahkan price, ya kan di situ," kata Anang kepada wartawan, Jumat (10/10/2025).