Pakar Hukum UMY: Penangkapan aktivis Kamisan Yogyakarta langgar prinsip konstitusi
Penangkapan seorang aktivis Aksi Kamisan Yogyakarta yang kemudian dipindahkan ke Polda Jawa Timur memicu sorotan tajam dari kalangan akademisi.

Sumber foto: Izan Raharjo/elshinta.com.
Sumber foto: Izan Raharjo/elshinta.com.
Penangkapan seorang aktivis Aksi Kamisan Yogyakarta yang kemudian dipindahkan ke Polda Jawa Timur memicu sorotan tajam dari kalangan akademisi. Dosen sekaligus pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Nanik Prasetyoningsih, M.H., menilai tindakan aparat tersebut tidak hanya bermasalah dari sisi hukum acara, tetapi juga berpotensi mencederai prinsip-prinsip konstitusi dan demokrasi.
Menurut Nanik, Aksi Kamisan merupakan bentuk ekspresi politik warga negara yang memiliki legitimasi kuat, baik secara konstitusional maupun berdasarkan undang-undang. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
“Ketika aparat justru menangkap warga yang melakukan aksi damai, hal itu dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap constitutional rights,” ujar Nanik dalam keterangan tertulis, Senin (29/9).
Ia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, setiap tindakan aparat harus didasarkan pada hukum, bersifat proporsional, serta menghormati hak asasi. Penangkapan yang dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas dinilai bertentangan dengan asas legalitas dan prinsip due process of law.
Nanik juga menyoroti pemindahan aktivis dari Polda DIY ke Polda Jawa Timur. Berdasarkan KUHAP, proses hukum seharusnya mengikuti prinsip locus delicti atau lokasi terjadinya peristiwa.
“Jika dugaan tindak pidana dilakukan di Yogyakarta, maka pemindahan ke Jawa Timur tanpa alasan yang sah melanggar prinsip kompetensi relatif,” jelasnya.
Dari perspektif hukum tata negara, kasus ini menunjukkan lemahnya penghormatan negara terhadap hak konstitusional warga. Hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum juga dijamin dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, UU HAM No. 39 Tahun 1999, hingga Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Nanik menambahkan, masyarakat sipil memiliki jalur hukum yang bisa ditempuh, mulai dari praperadilan, melaporkan kasus ke Komnas HAM, hingga mendorong judicial review apabila terdapat regulasi yang bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, DPR memiliki fungsi pengawasan, Komnas HAM berkewajiban menyelidiki dugaan pelanggaran, sementara Mahkamah Konstitusi berperan menjaga agar regulasi tetap sejalan dengan prinsip konstitusional.
“Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang kritik. Jika ruang tersebut ditutup dengan kriminalisasi, maka yang terjadi adalah kemunduran demokrasi atau democratic backsliding,” tegas Nanik seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Izan Raharjo, Selasa (30/9).