Sidang sengketa nikel Haltim, terdakwa sebut ada galian asing di wilayah IUP WKM
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang perkara sengketa tambang nikel di Halmahera Timur (Haltim) yang melibatkan dua karyawan PT Wana Kencana Mineral (WKM), Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang. Keduanya didakwa terkait pemasangan patok di area izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan.

Sumber foto: Supriyarto Rudatin/elshinta.com.
Sumber foto: Supriyarto Rudatin/elshinta.com.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang perkara sengketa tambang nikel di Halmahera Timur (Haltim) yang melibatkan dua karyawan PT Wana Kencana Mineral (WKM), Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang. Keduanya didakwa terkait pemasangan patok di area izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan.
Dalam agenda pemeriksaan terdakwa, Jaksa Penuntut Umum meminta penjelasan Awwab Hafidz selaku Kepala Teknik Tambang (KTT) PT WKM mengenai dasar pemasangan pagar atau patok tersebut. Awwab mengungkapkan saat memeriksa lokasi IUP, dirinya menemukan galian yang diduga sebagai aktivitas penambangan, padahal PT WKM belum memulai operasi apa pun di wilayah itu.
“Karena itu, dan atas perintah Direktur Utama PT WKM Eko Wiratmoko, saya memerintahkan Marsel memasang pagar sepanjang 12 meter agar tidak ada pihak yang memasuki wilayah IUP kami,” ujar Awwab saat menjawab pertanyaan Hakim Ketua Sunoto.
Ia menegaskan pagar tersebut dipasang untuk menandai batas area dan mencegah dugaan penyerobotan. Keterangan kedua terdakwa juga didalami Majelis Hakim, termasuk posisi patok yang disebut berada sepenuhnya dalam wilayah IUP PT WKM.
Di persidangan, kuasa hukum menyoroti status area IUP yang dikategorikan sebagai virgin forest atau hutan perawan, yang belum pernah dieksplorasi maupun dibuat akses jalan. Kondisi itu membuat keberadaan jalan baru menjadi pertanyaan.
Kuasa hukum PT WKM, Rolas Sitinjak, mempertanyakan mengapa terdapat pembukaan jalan di wilayah yang semestinya belum tersentuh aktivitas penebangan, apalagi kegiatan tambang. Ia menegaskan bahwa jalan tersebut tidak tercantum dalam perjanjian maupun Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT WKM.
“Kalau itu jalan baru, maka itu merupakan perbuatan melawan hukum. Semua saksi dan terdakwa sudah menjelaskan bahwa sebelumnya tidak pernah ada jalan di sana,” kata Rolas.
Rolas juga menyinggung legal standing pihak pelapor. Menurut keterangan ahli yang dihadirkan sebelumnya, laporan seharusnya hanya dapat dibuat oleh pemegang IUP atau pemilik tanah yang sah.
“PT Position ini bisa disebut sebagai penumpang gelap. Tidak punya dasar untuk melaporkan klien kami,” ujarnya usai sidang seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Supriyarto Rudatin, Kamis (20/11).
Ia menambahkan, dalam tindak pidana harus terdapat unsur keuntungan yang diperoleh pelaku. Dalam perkara ini, dua karyawan PT WKM dinilai tidak mendapatkan manfaat apa pun dari pemasangan pagar.
“Kasus ini seakan-akan mengajarkan bahwa memasang patok di tanah sendiri bisa membuat Anda dipenjara. Semoga hal seperti ini tidak terjadi lagi di republik ini,” kata Rolas.




