Tuntutan dibacakan, penasihat hukum Jimmy Masrin sebut JPU keliru memahami fakta perdata
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pembiayaan ekspor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Sumber foto: Supriyarto Rudatin/elshinta.com.
Sumber foto: Supriyarto Rudatin/elshinta.com.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pembiayaan ekspor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Perkara ini menyeret tiga petinggi PT Petro Energy, yaitu Direktur Utama Newin Nugroho, Direktur Keuangan Susy Mira Dewi Sugiarta, dan Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal yang juga Komisaris Utama PT Petro Energy, Jimmy Masrin.
Dalam tuntutannya, JPU memaparkan tiga poin pokok. Pertama, ketiga terdakwa dinilai sebagai subjek hukum yang cakap dan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Kedua, JPU menyatakan yakin bahwa para terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan. Ketiga, untuk terdakwa Jimmy Masrin, jaksa menuntut pidana tambahan berupa denda.
Kuasa Hukum Kritik Konstruksi Tuntutan JPU
Penasihat Hukum terdakwa Jimmy Masrin, Waldus Situmorang, menilai tuntutan JPU mengandung kekeliruan substansial, terutama terkait penafsiran pembayaran kewajiban Petro Energy kepada LPEI. Ia menilai jaksa keliru menyebut pembayaran tersebut sebagai pengembalian uang tindak pidana korupsi.
“Dalam hukum, pengembalian sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU Tipikor terjadi bila seseorang menerima uang hasil tindak pidana lalu mengembalikannya ke rekening negara. Yang terjadi di perkara ini adalah pembayaran kewajiban kontraktual, bukan pengembalian uang korupsi,” ujarnya.
Waldus menjelaskan, pembayaran atas fasilitas pembiayaan LPEI dilakukan jauh sebelum perkara pidana ini muncul. Untuk fasilitas USD 10 juta, pembayaran berjalan sejak 2021 hingga 2022 dan kini tersisa sekitar USD 500 ribu, sementara seluruh bunga telah dibayar tanpa tunggakan. Adapun fasilitas USD 50 juta mulai dibayarkan sejak 2024, dengan tujuh kali pembayaran yang masih berjalan hingga tenggat 2028. Pembayaran bunga fasilitas tersebut telah dilakukan sejak 2021.
Dengan kondisi tersebut, Waldus menilai tidak tepat apabila pembayaran utang komersial dianggap sebagai pengembalian dana hasil korupsi.
“Kalau ini dianggap pengembalian, seolah-olah uang tersebut milik negara dan harus masuk ke rekening negara. Faktanya, pembayaran dilakukan ke rekening LPEI sebagai kreditur, sesuai perjanjian,” tegasnya.
Respons atas Penilaian JPU soal Sikap Terdakwa
Dalam tuntutannya, JPU menilai Jimmy Masrin sebagai pihak yang bersikap berbelit-belit di persidangan. Kuasa hukum membantah anggapan tersebut. Waldus menyampaikan bahwa sebagai komisaris, Jimmy tidak terlibat dalam operasional harian Petro Energy, sehingga wajar apabila keterangannya terbatas.
“Penilaian bahwa terdakwa berbelit-belit tidak berdasar. Beliau jarang bicara justru karena tidak menjalankan fungsi operasional,” ujarnya seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Supriyarto Rudatin, Selasa (18/11).
Penasihat Hukum Tegaskan Sengketa Perdata Masih Berjalan
Menjelang agenda pembelaan (pledoi), tim penasihat hukum menyatakan akan menyampaikan argumentasi secara komprehensif. Waldus menegaskan kembali bahwa seluruh pembayaran dilakukan sesuai termin dan perjanjian yang sah antara Petro Energy dan LPEI.
“Uang sudah dibayar sesuai perjanjian. Ini hubungan perdata yang sah dan mengikat kedua pihak, pacta sunt servanda. Pembayaran tersebut dialirkan ke PT Caturkarsa Megatunggal dan PT Pada Idi sesuai perjanjian lanjutan. Itu bagian dari mekanisme restrukturisasi yang legal. Mengapa hubungan perdata yang masih berjalan dan tidak wanprestasi justru dicampuri hukum publik?” katanya.
Menurut Waldus, hukum pidana tidak semestinya masuk ketika sengketa perdata belum selesai, terlebih ketika kewajiban masih dipenuhi secara teratur.
“Tema pembelaan kami sederhana: ini adalah pembayaran utang yang sah, bukan tindak pidana,” pungkasnya.




