Top
Begin typing your search above and press return to search.

Jatiwangi art Factory gagas Hutan Tanaraya, setiap orang bisa miliki hutan

Bagi sebagian besar kalangan, memiliki hutan mungkin sebuah keinginan yang mengada-ada dan mustahil. Namun, saat ini, keinginan itu terbuka sangat lebar.

Jatiwangi art Factory gagas Hutan Tanaraya, setiap orang bisa miliki hutan
X

Sumber foto: Enok Carsinah/elshinta.com.

Bagi sebagian besar kalangan, memiliki hutan mungkin sebuah keinginan yang mengada-ada dan mustahil. Namun, saat ini, keinginan itu terbuka sangat lebar.

Kemungkinan itu cukup terbuka setelah pelaku ekonomi kreatif (Ekraf) di Jatiwangi art Factory (JaF) Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, menggagas Hutan Tanaraya. Lewat Perusahaan Hutan Tanaraya (Perhutana), setiap orang kini bisa memiliki hutan, sebagai 'pabrik' oksigen.

"Ya sebenarnya ini hasil dari forum diskusi kami yang memang setiap bulan kami punya forum diskusi. Satu waktu, forum itu ngomongin soal hutan. Selama ini generasi kita ini generasi yang hanya mengambil manfaat dari warisan-warisan yang ada," kata Direktur Perhutana Ginggi Syarif Hasyim, Kamis (6/11/2025)

Dari diskusi itu, berlanjut kepada mencari tahu tentang apa dan bagaimana hutan. Hasil pencarian itu akhirnya didapat bahwa hutan itu cukup sederhana.

"Dari diskusi itu, ternyata, ketika ditanya hutan terkecil itu segede apa? Empat meter ke empat meter, cukup. Katanya," jelas Ginggi.

'Kesederhanaan' tentang hutan sendiri, berdasarkan prinsip yang ada. Hutan, jelas Ginggi menerangkan hasil diskusinya, pada prinsipnya 'harus' memenuhi empat tanaman.

"Karena hutan itu prinsipnya ada empat tanaman. Ada payung, tegakan, semak, dan lain-lain," beber dia seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Enok Carsinah, Jumat (7/11).

"Sehingga sangat masuk akal kalau setiap orang bisa mewariskan hutan asal bisa membeli empat meter ke empat meter, terus digabungkan. Itu yang bisa jadi warisan ke generasi selanjutnya," lanjut dia.

Sepintas, hutan dengan luas 4x4 meter memang sangat minim. Namun, 4x4 meter itu bukan luasan secara keseluruhan.

Dijelaskan Ginggi, Hutan Tanaraya itu rencananya akan lahir di lahan seluas 8 hektar. "Rencananya delapan hektar, tapi yang sudah terealisasi itu dua hektar," kata dia.

Dalam perjalanannya, masyarakat umum bisa menjadi pemilik sebagian luasan hutan tersebut. Kepemilikan itu dengan cara membeli sebagian kecil, yakni satu kavling dengan ukuran 4x4, di lahan yang akan dibuat Hutan Tanaraya tersebut.

"Pola-pola pengembang lah. Booking kavling hutan. Nah setelah itu nanti kavling yang udah dibayar itu, diwakafkan. Nanti yang booking itu dapat sertifikat. Satu orang, satu lembaga hanya boleh beli satu kavling. Per kavling Rp4 juta," kata dia.

"Alhamdulillah 145 kavling sudah ternamai (ada pemilik), yang artinya 145 orang telah menjadi bagian dari Perhutana Family Forest. Hari ini kami memulai proses pengkavlingan sekaligus penanaman plot tanah 4x4 meter Hutan Tanaraya," lanjut dia.

Materi bukan jadi semangat dari dibuatnya Hutan Tanaraya. Edukasi dan kebutuhan mendasar, jadi alasan mengapa hutan itu harus ada.

"Kalau buat kami, bahwa selain jadinya itu hutan, akan bermanfaat, tetapi juga prosesnya. Inginnya jadi proses penyadaran dan edukasi," tegas dia.

Kebutuhan terhadap oksigen, jelas dia, menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap orang. Hutan, adalah salah satu cara bagaimana menjaga ketersediaan oksigen tesebut.

"Ya seperti halnya kita resah untuk kamar tidur, resah butuh kamar mandi, ruang makan, dapur. Kita juga harus resah untuk punya ruangan yang memproduksi oksigen," jelas Ginggi berapi-api.

"Generasi kita ini gak bodo-bodo amat lah, gak miskin-miskin amat. Kita suka bertanya, apa yang bisa kita wariskan ke generasi selanjutnya. Jangan-jangan hanya pandai memanfaatkan warisan," lanjut dia.

Kehadiran Hutan Tanaraya, diharapkan menjadi media pembelajaran untuk menghadirkan kesadaran kolektif tentang pentingnya oksigen dalam kehidupan sehari-hari.

"Hutan kolektif ini adalah hutan yang inginnya adalah menumbuhkan kesadaran. Sama halnya bahwa kebutuhan oksigen itu adalah kepentingan hidup dasar. Lalu kita kadang-kadang mengandalkan oksigen itu hasil dari warisan alam, kerja pemerintah dan sebagainya. Kita tidak punya pabrik sendiri," papar dia.

"Kalau sekarang, ya saya kira kebutuhan oksigen itu sama seperti halnya kebutuhan makan ya. Ketika memiliki kavling itu, kita tidak disubsidi sama siapapun. Ya artinya kita tidak miskin-miskin banget lah," lanjut Ginggi.

Sumber : Radio Elshinta

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire