Komisi V DPRD Banten - BPJamsostek finalisasi Ranperda Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
Komisi V DPRD Provinsi Banten bersama BPJS Ketenagakerjaan (BPJamsostek) menggelar Rapat Kerja Pembahasan Hasil Fasilitasi Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Rabu (17/12/2025).

Sumber foto: Mus Mulyadi/elshinta.com.
Sumber foto: Mus Mulyadi/elshinta.com.
Komisi V DPRD Provinsi Banten bersama BPJS Ketenagakerjaan (BPJamsostek) menggelar Rapat Kerja Pembahasan Hasil Fasilitasi Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Rabu (17/12/2025). Rapat kerja ini menjadi tahapan krusial dalam proses finalisasi regulasi yang ditujukan untuk memperkuat perlindungan pekerja, khususnya sektor informal di Provinsi Banten.
Rapat kerja tersebut merupakan langkah strategis untuk menyempurnakan Ranperda agar menjadi payung hukum yang kuat bagi kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Melalui regulasi ini, Pemerintah Provinsi Banten diharapkan mampu menghadirkan perlindungan menyeluruh bagi pekerja formal maupun informal yang selama ini belum memiliki jaring pengaman sosial.
Anggota DPRD Provinsi Banten, Dr. H. Budi Prajogo, S.E., M.Ak., menjelaskan bahwa rapat kerja ini merupakan tahapan finalisasi sekaligus pleno Ranperda Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Ranperda tersebut merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2024 yang mengamanatkan perlindungan bagi pekerja informal sebagai kelompok rentan.
“Hari ini kita melakukan pembahasan finalisasi dan pleno Ranperda Provinsi Banten tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan BPJS Ketenagakerjaan. Ini adalah bentuk komitmen kami untuk melindungi pekerja informal yang selama ini belum memiliki sistem perlindungan asuransi,” ujar Budi.
Ia menegaskan, Perda ini akan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah Provinsi Banten dalam mengalokasikan anggaran perlindungan bagi pekerja nonformal melalui APBD.
Menurut Budi Prajogo, kebijakan ini direncanakan mulai diberlakukan pada tahun 2026, setelah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan dan Belanja Daerah (RPBD). Program perlindungan yang akan diberikan meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) dari BPJS Ketenagakerjaan.
“Perda ini juga sejalan dengan komitmen Gubernur Banten untuk memperluas perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi masyarakat,” tambahnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Mus Mulyadi, Kamis (18/12).
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah BPJS Ketenagakerjaan Provinsi Banten, Eko Yuyulianda, menyampaikan apresiasi tinggi kepada DPRD Provinsi Banten, khususnya Komisi V, atas komitmen kuat dalam mendorong lahirnya regulasi tersebut.
“Ini adalah langkah besar dan legacy luar biasa bagi masyarakat Banten. Pemerintah eksekutif dan legislatif memiliki visi yang sama bahwa BPJS Ketenagakerjaan adalah jaring pengaman sosial yang wajib dimiliki seluruh masyarakat,” ujarnya.
Eko menekankan bahwa risiko sosial tidak hanya terkait kesehatan, tetapi juga kecelakaan kerja dan kematian. Karena itu, setiap warga Banten idealnya memiliki dua perlindungan, yakni BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Eko mengungkapkan, dari sekitar 6 juta pekerja di Provinsi Banten, baru 2,7 juta pekerja yang terlindungi BPJS Ketenagakerjaan. Artinya, masih terdapat 3,3 juta pekerja, mayoritas dari sektor informal, yang belum memiliki perlindungan jaminan sosial. “Kalau mereka mengalami risiko kecelakaan kerja atau meninggal dunia, negara belum bisa hadir karena mereka belum terlindungi. Ini yang menjadi perhatian serius kami,” ujar Eko.
Menurutnya, mustahil memberikan perlindungan secara instan kepada seluruh pekerja yang belum terlindungi. Karena itu, Pemerintah Provinsi Banten telah menyusun roadmap perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan dalam RPJMD secara bertahap. Saat ini tingkat perlindungan masih di angka 44 persen, ditargetkan meningkat menjadi 50 persen pada 2026, 55 persen pada 2027, hingga minimal 65 persen pada 2029.
“Harapan kami sebenarnya bukan hanya 65 persen, tapi pada 2029 seluruh masyarakat Banten yang memiliki aktivitas ekonomi bisa terlindungi 100 persen. Sehingga jika terjadi apa-apa (kecelakaan-red), negara benar-benar hadir,” tegasnya.
Eko menjelaskan, perlindungan bagi pekerja penerima upah sejauh ini sudah berjalan cukup baik dengan dukungan pemerintah daerah dan berbagai OPD. Tantangan terbesar justru berada pada pekerja bukan penerima upah, yang disasar saat ini yang masuk dalam Desil 1 hingga Desil 5 Data Terpadu Sosial Nasional (DTSN) sebagai kelompok paling rentan.
“Ke depan, setelah Peraturan Daerah Jaminan Sosial Ketenagakerjaan diturunkan dalam bentuk Peraturan Gubernur, BPJS Ketenagakerjaan bersama pemerintah daerah akan melakukan pendataan dan verifikasi pekerja rentan. Data tersebut kemudian diajukan kepada Gubernur untuk mendapat persetujuan pembiayaan iuran melalui APBD," ucapnya.
Kepala Kantor Wilayah BPJS Ketenagakerjaan Provinsi Banten, Eko Yuyulianda, juga mengajak perusahaan dan masyarakat untuk berperan aktif melindungi pekerja informal dan pekerja rentan melalui Program SERTAKAN (Sejahterakan Pekerja Sekitar Anda). Menurut Eko, perlindungan pekerja informal tidak bisa hanya mengandalkan APBD. Di sinilah peran Program SERTAKAN menjadi sangat penting.
Gerakan nasional SERTAKAN adalah gerakan kepedulian bersama untuk memastikan melindungi pekerja informal bukan penerima upah (BPU). Program ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah pekerja informal atau BPU yang terlindungi program jaminan sosial ketenagakerjaan. Adapun perlindungan sosial ketenagakerjaan yang diterima peserta minimal program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) dengan iuran Rp 16.800.
“CSR perusahaan selama ini banyak digunakan untuk pembangunan fisik. Kami berharap sebagian bisa dialihkan untuk membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi masyarakat di sekitar area usaha, sebagai bentuk gotong royong sosial,” jelasnya.
Selain perusahaan, Eko juga mengajak masyarakat secara individu untuk ikut berpartisipasi melindungi pekerja di lingkungan terdekat, seperti asisten rumah tangga, sopir, tukang kebun, hingga guru ngaji, melalui pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan.
“Dengan iuran yang sangat terjangkau, Rp16.800 per bulan, kita sudah bisa memberikan perlindungan jika terjadi kecelakaan kerja atau risiko meninggal dunia. Ini bentuk kepedulian nyata,” tutup Eko.




