Melestarikan layangan dandang warisan budaya khas Kalimantan Selatan

Salah satu tim peserta menyiapkan layang-layang raksasa sebelum diterbangkan pada kegiatan Festival Layang-Layang Dandang 2025 di Pantai Batakan Baru, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Minggu (31/8/2025). (ANTARA/Tumpal Andani Aritonang)
Salah satu tim peserta menyiapkan layang-layang raksasa sebelum diterbangkan pada kegiatan Festival Layang-Layang Dandang 2025 di Pantai Batakan Baru, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Minggu (31/8/2025). (ANTARA/Tumpal Andani Aritonang)
Terik matahari yang menyengat pori-pori kulit tak menyurutkan semangat ratusan orang yang berkumpul di Pantai Batakan Baru, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, ketika itu. Mereka yang berkumpul di pantai itu datang dari berbagai penjuru, kebanyakan penduduk lokal, sebagian datang dari provinsi lain, dan terlihat juga tidak sedikit turis asing dari Malaysia, Singapura, dan Prancis.
Mereka datang untuk memeriahkan Festival Layang-Layang Dandang 2025 sekaligus memecahkan rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) menerbangkan 900 layangan tradisional. Rekor sebelumnya dibuat Kabupaten Tapin dengan menerbangkan 300an layang-layang.
Para peserta membawa layang-layang raksasa dengan desain unik dan menarik yang membawakan ciri khas daerah masing-masing. Ciri khas daerah itu mereka tuangkan dalam bentuk gambar dan warna layangan dalam festival yang dibuka Bupati Tanah Laut Rahmat Trianto, akhir Agustus.
Sesaat setelah festival dibuka, ratusan peserta dari berbagai komunitas layangan unjuk kebolehan. Mereka yang terdiri atas beberapa orang dalam satu kelompok membagi tugas masing-masing. Dua hingga empat orang memegang layangan raksasa itu dekat di bibir pantai, beberapa orang lainnya menggenggam erat tali dan berlari kompak sekencang mungkin dengan aba-aba sambil menjauhi bibir pantai.
Kusain, penduduk Desa Kandangan Lama, Kecamatan Panyipatan, Tanah Laut, menjadi peserta festival layangan itu. Meski berusia paruh baya, semangatnya mengikuti festival tidak kalah dengan bocah-bocah yang berlari bermain layangan di pantai itu.
“Festival Dandang dilaksanakan setiap tahun, berpindah lokasi dari desa satu ke desa lain. Tujuannya supaya semakin banyak yang mengenal permainan tradisional ini,” kata Kusain yang berdiri tepat di samping anaknya memeriahkan pesta rakyat itu.
Kusain datang membawa layangan raksasa bermotif Suku Banjar. Sebagai kebanggaan akan warisan budaya untuk dikenalkan kepada dunia, Kusain dan rekannya menggambar tokoh Banjar dengan warna dominan merah dan kuning.
“Lari nak, lari, lari,” ungkapan itu dilontarkan Kusain ketika anaknya ikut mencoba menerbangkan layangan berukuran mini yang dibuat oleh Kusain khusus bagi bocah yang belum mampu memainkan layangan dandang yang berukuran raksasa.
Setelah ratusan layang-layang diterbangkan, bermacam warna warni layangan memperindah pemandangan langit biru di pantai itu.
Meski memperebutkan hadiah bagi 15 layangan terpilih, ratusan peserta memilih santai menikmati suasana. Mereka yang datang tidak begitu tergiur dengan hadiah puluhan juta yang disediakan panitia, karena mereka datang atas dasar bangga untuk melestarikan tradisi lokal yang telah mendunia ini.
Warisan Budaya Tak Benda
Layangan raksasa itu memiliki bobot bervariasi, dengan lebar bentangan sayap mulai dari 4-9 meter dan panjang yang bisa mencapai 10 meter, pemain layangan harus mengeluarkan tenaga lebih untuk berlari hingga puluhan meter sambil menarik tali yang dikaitkan di rangka layangan berbahan bambu.
Permainan tradisional asli Kalimantan Selatan ini mulanya berasal dari Kabupaten Tapin dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Layangan khas masyarakat Suku Banjar ini berbobot besar sehingga dijuluki “Raksasa Terbang”, menjadi layangan terbesar di nusantara.
Berkat ciri khasnya dan komitmen pemerintah daerah dalam melestarikan warisan berharga, layangan dandang resmi mendapat pengakuan nasional setelah pada tahun 2024 resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Indonesia melalui pengakuan Kementerian Hukum berupa Kekayaan Intelektual Komunal, bersamaan dengan lima warisan budaya lainnya di Kalimantan Selatan yang juga ditetapkan sebagai WBTB pada tahun yang sama.
Bahkan layangan dandang juga mendapatkan pengakuan internasional setelah Tim Pelayang dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan mengharumkan nama Indonesia di mancanegara saat tampil menerbangkannya di Festival Layangan Internasional Fano di Pulau Fano, Denmark, yang berlangsung pada 14-21 Juni 2025.
Kabupaten Tanah Laut patut bersyukur, setelah layangan dandang ditetapkan sebagai WBTB, daerah ini mampu memecahkan rekor MURI bertepatan dengan momentum peringatan HUT ke-80 RI.
Ekonomi tumbuh
“Festival Layangan Dandang ini bukan hanya seni dan budaya. Kegiatan ini juga menjadi salah satu komitmen pemerintah daerah untuk meningkatkan potensi pariwisata daerah,” kata Bupati Tanah Laut Rahmat.
Karena antusias peserta yang ramai setiap tahun, Festival Layangan Dandang telah berdampak nyata memberikan penghasilan bagi masyarakat setempat, yang berpeluh mengais rupiah dari usaha mikro kecil. Mulai dari pedagang keliling, warung makan dan minuman, hingga suvenir lokal buatan pelaku usaha mikro nampaknya menjadi daya tarik tambahan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat desa.
Seorang pedagang bakso keliling, Muhammad Yusuf, tak jauh dari kerumunan orang-orang, tampak bersemangat memarkir sepeda motor gerobak kecilnya sambil menunggu pembeli di pinggir pohon di Festival Layangan Dandang 2025 yang berlangsung di Tanah Laut pada 30-31 Agustus 2025.
Dengan handuk kecil yang menggantung di leher, Yusuf sesekali mengelap keringat di jidatnya sambil melayani pembeli yang silih berganti untuk menganjal perut yang lapar di tengah teriknya matahari. Dari festival layangan ini, Yusuf yang biasanya mendapatkan laba sekitar Rp150 ribu, memanjatkan syukur karena mendapatkan laba lebih dari Rp600 ribu dari hasil penjualan.
Kalimantan Selatan patut berbangga, berkat kreativitas anak bangsa, provinsi ini semakin dikenal di kancah nasional hingga mancanegara melalui permainan tradisional. Upaya menjaga warisan budaya berharga ini pun dilanjutkan pemerintah daerah setempat setiap tahunnya dengan menggelar festival layangan.
Bupati Tanah Laut Rahmat juga berkomitmen akan menggelar agenda serupa untuk mencatatkan rekor MURI yang lebih banyak lagi, hingga mencapai ribuan layang-layang.
Mereka yang menggeluti permainan tradisional ini pun turut berbangga atas prestasi yang telah ditorehkan para seniman. Bahkan dari peserta-peserta mancanegara memuji keunikan layangan dandang, tidak hanya berbobot besar, tetapi juga mengandung identitas suku dan budaya.
Mereka yang berperan sebagai seniman layangan akan tetap merawat dan melestarikan serta mengenalkan ke anak cucunya agar layangan dandang terus hidup di tengah kehidupan zaman, saat ini hingga masa mendatang.