Top
Begin typing your search above and press return to search.

UIN Jakarta dan MIU Iran gagas rekonstruksi humaniora Islami di era modern

Dalam upaya memperluas cakrawala intelektual dan menggali kembali khazanah keilmuan Islam, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar Studium Generale bertajuk “Rekonstruksi Ilmu Humaniora Islami”, Kamis (6/11/2025), di Auditorium Prof. Dr. Suwito, M.A. Acara berlangsung pukul 10.00–12.00 WIB dan dihadiri oleh sivitas akademika, mahasiswa, serta tamu undangan dari berbagai lembaga pendidikan Islam.

UIN Jakarta dan MIU Iran gagas rekonstruksi humaniora Islami di era modern
X

Sumber foto: Ivan Cakra/elshinta.com.

Dalam upaya memperluas cakrawala intelektual dan menggali kembali khazanah keilmuan Islam, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar Studium Generale bertajuk “Rekonstruksi Ilmu Humaniora Islami”, Kamis (6/11/2025), di Auditorium Prof. Dr. Suwito, M.A. Acara berlangsung pukul 10.00–12.00 WIB dan dihadiri oleh sivitas akademika, mahasiswa, serta tamu undangan dari berbagai lembaga pendidikan Islam.

Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama UIN Jakarta, Yayasan Hikmat Al-Mustafa, dan STAI Sadra Jakarta, menghadirkan dua pemikir besar dunia Islam: Prof. Dr. Ali Abbasi (Rektor Al-Mustafa International University/MIU, Republik Islam Iran) dan Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

Acara dibuka oleh Prof. Dr. Yusuf Rahman, Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, yang menekankan pentingnya forum ilmiah lintas negara sebagai wadah dialog intelektual dan penguatan fondasi keilmuan Islam di tengah tantangan modernitas.

Dalam pemaparannya, Prof. Abbasi menegaskan bahwa setiap ilmu memiliki asumsi dasar dan kerangka teori yang menjadi fondasinya. Tanpa fondasi tersebut, bangunan pengetahuan akan runtuh. Ia menjelaskan bahwa dalam tradisi filsafat klasik, ilmu dibagi menjadi dua kategori besar: Ilmu Teoritis, meliputi matematika, ilmu alam (fisika, kimia, biologi), dan metafisika (ilmu ilahiyah). Ilmu Praktis (Amali), yang membahas etika pribadi, tata keluarga, dan kehidupan sosial-politik.

Namun, lanjutnya, pembagian tersebut kini semakin cair seiring munculnya ilmu-ilmu interdisipliner. “Humaniora yang dahulu dianggap teoritis, kini menjadi terapan karena berinteraksi langsung dengan masyarakat,” ujarnya.

Prof. Abbasi menekankan bahwa Humaniora Islam bukanlah konsep kontradiktif, melainkan disiplin ilmu yang berdiri di atas pandangan dunia (worldview) Islam. Ilmu ini tidak sekadar menafsirkan Al-Qur’an sebagai teori, tetapi membangun sistem pengetahuan baru berdasarkan epistemologi dan ontologi Islam.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa gagasan rekonstruksi Humaniora Islam telah bergulir sejak tujuh dekade lalu, salah satunya melalui pemikiran Allamah Taqi Misbah Yazdi di Iran. Upaya serupa juga dilakukan oleh pemikir Muslim seperti Ismail al-Faruqi dan Syed Naquib al-Attas di dunia Islam lainnya.

“Membangun ilmu baru membutuhkan waktu panjang dan kolaborasi lintas disiplin serta antarnegara. Humaniora Islam harus menjadi solusi bagi problem kemanusiaan modern sekaligus jembatan dialog antaragama dan antarbudaya,” tegasnya di hadapan para mahasiswa, dosen dan tamu undangan.

Sementara itu, Prof. Mulyadhi Kartanegara memulai paparannya dengan menegaskan bahwa dalam Islam, metafisika adalah ‘ibu dari segala ilmu’. Ia mengkritik paradigma sains Barat yang sejak era Newton bersifat mekanistik—bahkan dalam bidang biologi dan psikologi—sehingga memisahkan ilmu dari aspek spiritual dan ilahiah.

Sebaliknya, filsafat Islam, lanjutnya, memandang seluruh ilmu sebagai kesatuan yang berakar pada realitas metafisik. Ia merujuk pada pandangan Suhrawardi tentang hierarki wujud: dunia fisik, dunia imajinal, dan dunia ilahi, serta pandangan Mulla Sadra yang menyatukan tiga sumber pengetahuan burhan (rasional), irfan (intuisi), dan wahyu (revelasi).

“Ilmu yang memisahkan diri dari metafisika kehilangan makna terdalamnya. Dalam Islam, filsafat disebut ‘hikmah’, sebuah pengetahuan yang tidak hanya rasional, tetapi juga moral dan ilahi,” ujar Prof. Mulyadhi seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Ivan Cakra, Jumat (7/11).

Ia juga menyoroti pentingnya sejarah sebagai wahana manifestasi kehendak Tuhan. Menurutnya, teori Ibnu Khaldun tentang siklus peradaban membuktikan bahwa kemajuan umat bergantung pada kekuatan moral dan spiritual. Ketika nilai-nilai itu luntur, peradaban akan mengalami kemunduran.

“Rekonstruksi Humaniora Islam harus mengembalikan dimensi metafisik dan spiritual agar manusia dipahami secara utuh — jasmani, akal, jiwa, dan roh,” tambahnya.

Diskusi yang berlangsung dinamis ini menghasilkan sejumlah kesimpulan penting. Para narasumber sepakat bahwa Humaniora Islam harus dibangun di atas fondasi metafisika dan prinsip ilahiah, bukan semata pada rasionalitas material.

Rekonstruksi ilmu menuntut kolaborasi lintas disiplin dan lintas perguruan tinggi Islam di berbagai negara agar terwujud rumpun ilmu yang kokoh dan relevan dengan tantangan zaman.

Dengan pendekatan integratif yang menggabungkan akal, intuisi, dan wahyu, Humaniora Islam diharapkan mampu menjadi jembatan antara ilmu, etika, dan spiritualitas—sekaligus membuka ruang dialog antarbudaya dan antariman di era global.

Sumber : Radio Elshinta

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire