Top
Begin typing your search above and press return to search.

Masa kanak-kanak di era AI: antara harapan dan ancaman

Masa kanak-kanak di era AI: antara harapan dan ancaman
X

Pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengikuti pelatihan keamanan siber di Kampus Telkom University, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (6/10/2025). Komunitas Indonesia Women in Cybersecurity (IWCS) bersama Telkom University menggelar Cyber Safe Kids atau pelatihan keamanan siber bagi anak yang memberikan pelatihan kepada siswa SD dan SMP terkait pemahaman dasar keamanan siber dan cara melindungi diri serta memahami konten palsu dan risiko Artificial Intelligence (AI). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/YU.

Laporan terbaru The Economist mengangkat satu pertanyaan penting: apa yang terjadi pada masa kanak-kanak ketika kecerdasan buatan (AI) hadir dalam setiap detik kehidupan anak di rumah, di sekolah, bahkan dalam permainan?

Pertanyaan ini bukan spekulasi futuristik. Di Indonesia, anak belajar menggunakan gawai sejak usia dini, sekolah mulai mencoba platform pembelajaran adaptif, dan orangtua memanfaatkan asisten digital untuk menemani anak bertanya, bercerita, hingga mengatur rutinitas. Masa kanak-kanak, sebagaimana diperingatkan The Economist, sedang “diredefinisi ulang” oleh teknologi —dengan peluang besar, tetapi juga ancaman yang tak boleh disepelekan.

Harapan besar AI dalam pendidikan memang menggoda. Sistem pembelajaran adaptif dapat memberikan latihan sesuai kemampuan tiap siswa, memantau kemajuan secara real time, dan membantu guru mengidentifikasi kesulitan belajar jauh lebih cepat.

Guru yang masih dibebani administratif dapat terbantu oleh AI untuk membuat rubrik penilaian, menyusun bahan ajar diferensiatif, dan memberikan umpan balik awal.

Dalam konteks rumah, model generatif memungkinkan anak menggambar, mencipta cerita, atau merancang karakter permainan tanpa hambatan teknis. AI memberi “skala baru” pada personalisasi belajar yang sebelumnya hanya mungkin bagi keluarga kaya atau siswa beruntung.

Ancaman Serius

Namun, di balik peluang tersebut tersembunyi ancaman serius.

Pertama, ancaman terhadap privasi dan keamanan data anak. Banyak aplikasi edukasi dan mainan pintar mengumpulkan data: suara, ekspresi wajah, riwayat pertanyaan, bahkan preferensi emosional. Data ini menjadi komoditas bernilai bagi perusahaan, sehingga risiko komersialisasi masa kanak-kanak tidak bisa dihindari.

Kedua, ancaman terhadap perkembangan emosi dan kognisi. Ketika anak terbiasa memperoleh jawaban instan, proses investigasi, kebingungan, dan trial-and-error —unsur penting perkembangan intelektual— dapat hilang. Lebih berbahaya lagi, hubungan sosial dapat tergantikan oleh interaksi dengan AI yang selalu patuh, tidak menuntut kompromi, dan tidak pernah marah.

Padahal seperti diingatkan psikolog perkembangan Alison Gopnik, “anak belajar tentang dunia melalui resistensi”; melalui pengalaman ditolak, dinegosiasikan, dan diasah oleh interaksi nyata. AI yang terlalu “menyenangkan” justru berpotensi mempersempit pengalaman sosial itu.

Ketiga, ancaman pengawasan berlebihan di sekolah. Di beberapa negara, sekolah menggunakan AI untuk memantau perhatian siswa melalui kamera, menganalisis ekspresi wajah, bahkan mendeteksi potensi kenakalan.

Praktik semacam ini menghadirkan ruang kelas yang menyerupai panoptikon: anak merasa selalu diawasi, sehingga spontanitas dan kreativitas memudar. Kita di Indonesia perlu waspada, sebab godaan menerapkan teknologi pengawasan sering datang lebih cepat daripada diskusi etisnya.

Keempat, ancaman bias algoritmik. AI belajar dari dataset yang sering tidak merepresentasikan seluruh kenyataan. Anak-anak dari wilayah terpinggirkan, pengguna bahasa daerah, atau latar sosial-ekonomi tertentu bisa dinilai “kurang mampu” hanya karena model tidak mengenali karakteristik mereka. Bias semacam ini memperlebar ketimpangan belajar, sesuatu yang secara sosial berbahaya karena menginstitusionalisasi diskriminasi secara halus.

Contohnya bias bahasa dan aksen. Sistem speech recognition sering dilatih dengan bahasa Indonesia baku perkotaan. Anak dari NTT, Sulawesi, atau Papua dengan logat lokal bisa dianggap “salah mengucap”. Dalam latihan membaca berbasis suara, AI mungkin memberi skor rendah hanya karena aksen berbeda, sehingga guru menyimpulkan adanya kesulitan membaca padahal pemahaman anak baik.

Contoh berikutnya adalah bias sosial-ekonomi. Platform pembelajaran adaptif kadang menilai kemampuan dari pola interaksi digital --frekuensi login, kecepatan menjawab, stabilitas internet. Anak dari keluarga berpendapatan rendah, yang internetnya sering terputus, akan dinilai “tidak konsisten”. Sistem lalu menurunkan tingkat kesulitan soal, mengunci anak dalam jalur pembelajaran yang lebih rendah, meski ia sebenarnya mampu. Ini diskriminasi terselubung yang memperlebar ketimpangan belajar.

Ada juga bias budaya. Ketika anak menulis pengalaman hidup pedesaan —membantu di sawah, mengurus ternak, atau menjaga adik— AI penilai teks bisa menganggap jawabannya “kurang relevan” karena contoh-contoh dalam dataset lebih urban. Identitas budaya anak perlahan tergeser oleh algoritma yang menganggap pengalaman kota lebih valid daripada desa.

Bias juga muncul dalam pengenalan ekspresi wajah. Model yang dilatih dengan wajah mayoritas kulit terang atau struktur wajah tertentu bisa keliru membaca ekspresi anak Papua, Maluku, atau Sulawesi sebagai “tidak fokus”, padahal mereka sedang mencermati pelajaran. Kesalahan ini memengaruhi raport perilaku, intervensi guru, hingga kepercayaan diri anak.

Inilah bahaya terbesar: bias algoritmik membuat ketidakadilan menjadi bagian bawaan sistem pendidikan digital, bekerja secara senyap tetapi sistematis. Teknologi yang seharusnya meratakan kesempatan justru berisiko menanam kembali hierarki sosial dalam bentuk baru: diskriminasi berbasis data.

Dalam konteks Indonesia, isu ini semakin relevan. Kurikulum Merdeka menekankan diferensiasi dan pembelajaran sesuai tahap capaian siswa. AI berpotensi memperkuat ideal itu. Namun, tanpa pedoman etis dan kompetensi guru, teknologi justru bisa menggantikan proses pembelajaran dengan sekadar konsumsi jawaban. Sebuah kajian yang dikutip The Economist Foundation menunjukkan bahwa manfaat AI hanya muncul ketika guru menguasai cara mengintegrasikannya secara pedagogis, bukan sekadar teknis.

Langkah Strategis

Lantas apa yang harus dilakukan? Ada beberapa langkah kebijakan strategis.

Pertama, menetapkan regulasi perlindungan data anak. Mendesak bahwa negara kita harus memiliki standar pengumpulan data yang ketat pada aplikasi pendidikan dan mainan pintar: minimisasi data, larangan penggunaan komersial, serta mekanisme penghapusan otomatis. Tanpa itu, anak menjadi sasaran empuk ekosistem digital yang rakus data.

Kedua, memperkuat literasi AI untuk guru dan orangtua. Guru perlu dibekali pemahaman etis dan pedagogis, bukan hanya keterampilan teknis. Orangtua pun harus mengerti bahwa AI bukan pengganti interaksi manusia. Pemerintah, perguruan tinggi, dan komunitas pendidikan dapat berkolaborasi membuat program literasi AI yang sederhana, kontekstual, dan berkelanjutan.

Ketiga, memastikan kesetaraan akses. AI berpotensi menjadi alat pemerataan, tetapi tanpa intervensi negara justru memperlebar jurang. Investasi infrastruktur digital, pendampingan guru di daerah 3T, dan penyediaan perangkat terjangkau perlu menjadi prioritas.

Pada akhirnya, masa kanak-kanak tidak boleh direduksi menjadi data dan algoritma. Anak membutuhkan ruang untuk bermain, gagal, mencoba lagi, bernegosiasi, dan mengalami dunia nyata dengan segala ketidakpastiannya. AI dapat menjadi alat yang memperkaya pengalaman itu, tetapi tidak boleh menggantikannya.

Pertanyaannya bukan apakah AI akan hadir dalam hidup anak-anak kita, karena itu sudah terjadi. Pertanyaannya: apakah kita akan membiarkan AI menentukan masa kanak-kanak, atau kita membentuk AI agar menghormati masa kanak-kanak?

Di sinilah kebijakan, etika publik, dan tanggung jawab moral orang dewasa diuji. Generasi yang sedang bertumbuh hari ini akan mewarisi konsekuensi keputusan kita; tugas kitalah memastikan bahwa harapan lebih kuat daripada ancaman.

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire