Seniman Nabila gelar pameran Drawing 99 Kiai peringati Hari Santri
Nabila Dewi Gayatri gelar pameran tunggal Drawing 99 Kiai Guru Laku di Galeri Dewan Kesenian Surabaya, Balai Pemuda, untuk peringati Hari Santri.

Salah satu lukisan karya Nabila Dewi Gayatri yang dipamerkan saat pameran tunggal bertajuk Drawing 99 Kiai Guru Laku. ANTARA/HO-Dokumentasi pribadi
Salah satu lukisan karya Nabila Dewi Gayatri yang dipamerkan saat pameran tunggal bertajuk Drawing 99 Kiai Guru Laku. ANTARA/HO-Dokumentasi pribadi
Seniman dan pelukis Nabila Dewi Gayatri menggelar pameran tunggal bertajuk Drawing 99 Kiai Guru Laku di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS) Balai Pemuda, Jalan Gubernur Suryo, pada 18–25 Oktober 2025 untuk memperingati Hari Santri.
“Pameran ini terselenggara atas kerja sama NDG Art Gallery dengan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU Jatim, dan DKS,” kata Nabila di Surabaya, Sabtu.
Nabila mengatakan tahun ini pameran mengangkat tema Guru Laku dan akan memajang 99 drawing hasil karyanya berupa foto kiai pemimpin gerakan Nahdlatul Ulama (NU) dan pengasuh pesantren.
Sebagian besar kiai yang dibingkai dalam goresan drawing-nya adalah kiai yang sudah wafat dan dari mereka bisa diambil energi serta teladan dalam memperjuangkan kebaikan di Nusantara.
“Salah satunya, adalah pencipta Shalawat Badar, Kiai Ali Manshur, selain para kiai muassis atau pendiri NU seperti yang sudah umum dikenal khalayak,” tambah Nabila.
Pameran Drawing 99 Kiai ini, menurut Nabila, berangkat dari pemikiran bahwa sejarah telah mencatat kedewaguruan sebagai konsep pendidikan dan spiritualitas di Nusantara yang memiliki sejarah panjang sejak abad ke-13 hingga ke-15 Masehi, yakni pada masa akhir Kerajaan Majapahit.
“Kedewaguruan awalnya dibentuk oleh resi-resi yang tinggal di daerah terpencil, yang menjauh dari pengaruh duniawi atau zuhud, dan di sanalah beberapa anak penguasa kerajaan dikirim untuk belajar tentang banyak hal—tata negara, etika, moral, spiritual, bahkan ilmu bela diri dan kanuragan,” ujar sambil menambahkan sistem ini juga ada pada Sangha Buddha.
Nilai luhur ini, lanjut Nabila, sudah kuat bermula dari era Mataram Kuno, bergeser ke Timur hingga era Majapahit akhir.
Ketika Islam mulai berkembang di pesisir utara pasca-runtuhnya Majapahit dan kerajaan berpindah ke Demak, tokoh-tokoh yang notabene keluarga kerajaan melanjutkan sistem pendidikan kedewaguruan dan Sangha sebagai sarana pendidikan sejalan dengan dinamika penyebaran Islam di Nusantara oleh para Wali Sanga.
“Bersebab itulah saya menggambar para kiai sebagai Guru Laku yang tidak sekadar menggambar potret, tapi lebih pada penghormatan dan kecintaan kepada ulama yang telah mendedikasikan dirinya sebagai guru pengajaran moral, etika, dan juga keilmuan adab. Bahkan para kiai itu telah mendedikasikan dirinya untuk perjuangan bangsa,” ungkap Nabila.
Ia menceritakan telah menggambar para kiai berjumlah 99 orang, diambil dari angka keramat Asmaul Husna yang mengungkapkan bahwa masih dan telah mempunyai Guru Laku yang bisa memberi suri tauladan serta panutan etika dan moralitas.
“Karena gambar-gambar para kiai itu merupakan perwujudan kecintaan, semoga nilai dari pameran ini adalah meneladani ulama tersebut,” tambahnya.
Dengan memandang dan mengingat wajah-wajah mulia itu, Nabila berharap publik bisa meresapkan ajaran-ajaran baik para kiai kepada diri masing-masing pengunjung.
“Agar mereka selalu hidup dalam kalbu kita," ujarnya.
Melalui pameran ini, Nabila mengajak khalayak mencintai Guru Laku, mencintai ulama Nusantara, mencintai NU, dan patuh pada dhawuh para kiai.
Sebagaimana kegiatan serupa pada Hari Santri tahun lalu, pameran kali ini juga melibatkan para seniman dan akademisi seni rupa, yakni Dr. Agung Tatto, M.Sn., sebagai pendisplay dan Dr. Mikke Susanto, M.Sn., sebagai penulis.