BPOM respon sirop obat dari India diduga ber-DEG melebihi batasan

Arsip foto - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri), Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar (tengah), dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti (kanan) dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/10/2025). ANTARA/Mecca Yumna/am.
Arsip foto - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri), Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar (tengah), dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti (kanan) dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/10/2025). ANTARA/Mecca Yumna/am.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merespon pemberitaan media tentang dua sirop obat dari India, yakni Coldrif Cough Syrup dan sirop Nextro-DS yang diduga mengandung dietilen glikol (DEG) melebihi batasan aman.
Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan di Jakarta, Rabu (8/10), bahwa produk tersebut diduga telah menimbulkan kematian pada anak di India. Berdasarkan hasil penelusuran di database BPOM, kedua produk tersebut tidak terdaftar di BPOM.
Selain itu, katanya, produsen kedua sirop obat tersebut tidak tercatat memiliki kerja sama dengan produsen, importir, dan distributor obat di Indonesia.
"Sirop obat flu/cold syrup tidak termasuk dalam kriteria obat yang dapat diimpor dan diedarkan di Indonesia," kata Taruna.
Dia menambahkan berdasarkan hasil patroli siber BPOM, kedua produk tersebut juga tidak ditemukan dalam penjualan dan peredaran secara online di lokapasar/e-commerce di Indonesia.
Adapun Cough Syrup diproduksi Srisan Pharmaceuticals, Tamil Nadu, India, sedangkan Nextro-DS diproduksi di Himachal Pradesh, India.
Oleh karena itu, sebagai antisipasi terhadap produksi dan peredaran sirop obat substandar, ilegal, palsu, dan mengandung bahan berbahaya, pihaknya berkomitmen untuk terus memperkuat pengawasan pre- dan post-market terhadap produk obat yang telah terdaftar dan beredar di Indonesia agar memenuhi ketentuan.
Selain itu, BPOM terus meningkatkan intensitas pengawasan sarana berbasis risiko pada fasilitas produksi, distribusi, dan pelayanan kefarmasian.
Pihaknya juga melakukan pengawasan mutu melalui revitalisasi kerangka sampling berbasis risiko dan pengujian yang komprehensif terhadap sirop obat, pengawasan pemenuhan persyaratan batas cemaran etilen glikol/dietilen glikol (EG/DEG) sesuai standar cara pembuatan obat yang baik (CPOB), serta pemastian pelaksanaan kualifikasi pemasok bahan tambahan obat, khususnya pelarut obat.
"BPOM juga memastikan dan mendorong industri farmasi untuk melakukan pemantauan mandiri (self assessment) terhadap pemenuhan persyaratan termasuk uji cemaran EG/DEG pada bahan baku dan sediaan sirop obat," katanya.
Industri farmasi juga didorong untuk melaporkan kegiatan kepada BPOM melalui sistem pelaporan terpadu secara daring yakni aplikasi e-Was BPOM (https://e-was.pom.go.id), termasuk pelaporan pembelian dan penggunaan bahan tambahan pada sirop obat berdasarkan analisis risiko.
BPOM telah melakukan peningkatan penggunaan sistem pelaporan farmakovigilans yang melibatkan tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, serta industri farmasi untuk mendeteksi dan melaporkan efek samping atau masalah yang berhubungan dengan obat.
"BPOM juga berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dalam penanganan keluhan yang berhubungan dengan penggunaan obat pada pasien sebagai bagian dari respons cepat dan langkah mitigasi komprehensif," dia menambahkan.
Selain dengan Kemenkes, pihaknya juga meningkatkan kolaborasi dengan WHO, otoritas regulatori obat negara lain, dan aparat penegak hukum dalam upaya memperkuat sistem regulasi obat dan mitigasi risiko melalui peningkatan kompetensi, berbagi informasi, pencegahan, pemberantasan, dan penegakan hukum terhadap produksi dan peredaran obat yang tidak sesuai ketentuan.
Taruna mengimbau masyarakat agar menjadi konsumen cerdas dan selalu ingat Cek KLIK (Kemasan, Label, Izin edar, dan Kadaluarsa) sebelum membeli atau menggunakan obat.
"Jika masyarakat memerlukan informasi lebih lanjut, dapat menghubungi apoteker, dokter, maupun tenaga kesehatan lainnya," katanya.
Dia juga mengimbau masyarakat untuk selalu membeli dan memperoleh obat di apotek, toko obat berizin, atau fasilitas pelayanan kesehatan.
"Jika ingin membeli obat secara online, pastikan obat diperoleh melalui apotek yang telah memiliki izin Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi (PSEF) dari Kementerian Kesehatan," kata Taruna.