Top
Begin typing your search above and press return to search.

Sentuhan panas bumi menyajikan kopi Kamojang hingga mendunia

Suara desisan uap panas bumi seringkali terdengar jelas oleh orang yang sedang berada di sekitar kawasan pembangkit listrik tenaga panas bumi di kawasan Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang, daerah perbatasan Kabupaten Garut dengan Bandung, Jawa Barat.

Sentuhan panas bumi menyajikan kopi Kamojang hingga mendunia
X

Suara desisan uap panas bumi seringkali terdengar jelas oleh orang yang sedang berada di sekitar kawasan pembangkit listrik tenaga panas bumi di kawasan Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang, daerah perbatasan Kabupaten Garut dengan Bandung, Jawa Barat.

Suara itu keluar dari lubang pipa tekanan uap panas bumi yang dimanfaatkan untuk penggerak turbin hingga akhirnya bisa menjadi energi listrik. Pembangkit listrik itu beroperasi sejak 1983.

Sejak 2023, panas bumi di sana memberikan manfaat baru bagi pebisnis kopi. Sumber panas itu digunakan untuk proses pengeringan ceri kopi dengan teknologi rumah pengeringan panas bumi.

PT PGE Area Kamojang membangun ruang tempat pengeringan kopi energi panas bumi sebagai bagian dari program CSR di Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Bandung.

Pertamina memanfaat

Suara desisan uap panas bumi seringkali terdengar jelas oleh orang yang sedang berada di sekitar kawasan pembangkit listrik tenaga panas bumi di kawasan Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang, daerah perbatasan Kabupaten Garut dengan Bandung, Jawa Barat.

Suara itu keluar dari lubang pipa tekanan uap panas bumi yang dimanfaatkan untuk penggerak turbin hingga akhirnya bisa menjadi energi listrik. Pembangkit listrik itu beroperasi sejak 1983.

Sejak 2023, panas bumi di sana memberikan manfaat baru bagi pebisnis kopi. Sumber panas itu digunakan untuk proses pengeringan ceri kopi dengan teknologi rumah pengeringan panas bumi.

PT PGE Area Kamojang membangun ruang tempat pengeringan kopi energi panas bumi sebagai bagian dari program CSR di Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Bandung.

Pertamina memanfaatkan uap buangan sebagai sumber panas alternatif pertama di dunia untuk proses pengeringan ceri kopi secara efisien dan ramah lingkungan, serta mendukung ekonomi sirkular berbasis energi bersih.

Di sana terdapat dua bangunan sederhana tak berdinding kayu, baja ringan, dan plastik bening penutup ruangan agar kedap udara. Tapi cahaya matahari tetap bisa menembus ruangan yang dilengkapi perangkat pengatur suhu ruangan agar bisa diatur antara 33 sampai 50 derajat celcius,

Tempat tersebut mampu mengeringkan 6 ton ceri kopi yang beroperasi 24 jam dengan kemampuan proses pengeringan tiga kali lipat lebih cepat dibandingkan cara lama penjemuran konvensional memanfaatkan panas matahari.

Bernilai ekonomis

Bagi Moh Ramdan Reza, keberadaan rumah pengeringan panas bumi di Kamojang telah banyak membantu menjalankan usaha kopinya, terutama dalam proses pengeringan yang lebih cepat dan lebih ringan biaya operasionalnya.

Pria berusia 34 tahun yang disapa dengan nama panggilan Deden itu mendedikasikan hidupnya untuk berbisnis kopi. Dia merupakan mitra yang memanfaatkan program CSR dari PGE. Saat ini dia fokus mengembangkan kopi Kamojang. Produksinya sudah bersaing dengan produk kopi unggulan lainnya di berbagai daerah dan juga mancanegara.

Padahal jauh sebelumnya saat mulai terjun ke bisnis kopi tahun 2015, Deden kerepotan karena harus bergantung pada kondisi cuaca untuk proses pengeringan buah kopi.

Deden bersama sejumlah pegawainya akan sibuk ketika panen kopi tiba. Selain harus mempersiapkan modal juga harus melakukan proses penjemuran buah kopi di hamparan yang membutuhkan lahan luas di bawah terik sinar matahari.

Proses pengeringan kopi secara konvensional bergantung pada kondisi cuaca. Apabila cuaca panasnya normal setiap hari maka bisa menghabiskan waktu 30 hari untuk proses kopi natural. Namun jika kondisinya hujan atau mendung bisa sampai 40 hari atau lebih.

Lebih repot lagi ketika turun hujan secara tiba-tiba. Kopi yang dijemur di hamparan terbuka itu harus segera ditutupi plastik, atau segera dimasukkan ke tempat teduh agar tidak terkena air hujan. Jika terlambat, proses pengeringan bisa saja lebih lama lagi.

Berbeda dengan sistem pengeringan kopi dengan metode pemanfaatan panas bumi yang menurut Deden jauh lebih mudah. Metode itu tidak hanya memangkas biaya produksi, tapi memangkas waktu jadi lebih cepat. Untuk pengolahan kopi natural lama proses pengeringannya bisa sepekan atau paling lama 10 hari.

Waktu yang jauh lebih singkat itu, bagi Deden, memberikan keuntungan dalam biaya proses produksi dibandingkan dengan cara konvesional yang harus melibatkan pekerja minimal dua orang dengan upah Rp100 ribu per hari dengan target pengeringan selama 30 hari.

Waktu selama 30 hari itu tentunya pelaku usaha harus mengeluarkan biaya sebesar Rp3 juta. Jika waktunya lebih lama, maka beban upah akan lebih besar untuk sampai menjadi green bean.

Bisnis Sosial

Bagi Deden, pengembangan bisnis kopi dengan pemanfaatan panas bumi itu untuk membangun kewirausahaan sosial yang bisa melibatkan banyak masyarakat dari hulu sampai hilir, tidak ada lagi pihak yang dirugikan, melainkan semuanya untung.

Berkat teknolgi pengeringan itu, biaya yang biasanya digunakan untuk proses pengeringan yang lama bisa dialihkan untuk membeli hasil kopi dengan harga lebih tinggi. Misalkan biasanya ceri kopi Rp16 ribu per kilogram, melalui konsep sosial ini bisa dibeli dari petani dengan harga Rp17 ribu sampai Rp18 ribu per kilogram.

Kerjasa sama yang dibangun oleh PT PGE tersebut tentu diharapkan Deden bisa terus berkelanjutan, sehingga secara berkala memberikan pelatihan budidaya, kemudian pupuk, dan juga bibit untuk peluasan lahan.

Cara berbisnis yang dilakukan Deden bersama PT PGE itu dapat mempersempit kesenjangan petani dengan produsen.

"Saya ingin mempersempit kesenjangan petani dengan produsen. Jangan produsen saja yang semakin kaya, tapi petani juga harus kaya," katanya.

Pemanfaatan panas bumi untuk pengeringan kopi berbasis bisnis sosial itu tidak hanya oleh Deden. Ada pebisnos kopi lainnya yakni pemilik Asli Kopi Kamojang Arabika (Akkar) Aki Undang (72) yang memiliki kedai di sekitar PT PGE, Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Bandung.

Aki Undang mendukung adanya inovasi pengeringan kopi dengan metode panas bumi karena membantu mempercepat pengeringan dibandingkan dengan proses penjemuran.

Selain Undang, pelaku usaha kopi dari Kampung Legok Pulus, Desa Sukakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut juga juga memanfaatkan panas bumi untuk proses pengeringan kopi.

Dia adalah Ahmad Nur Fathurodin yang menilai keberadaan geothermal dry house itu telah memudahkan dalam proses pengeringan ceri kopi tanpa penjemuran panas matahari.

Menurut dia teknologi itu masih terus perlu dikembangkan agar mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Juga bisa lebih diperluas tempatnya yang saat ini baru mampu menampung 6 sampai 8 ton ceri kopi.

Kopi dari hasil pengeringan kopi itu, menurut Ahmad, memiliki pasar yang bagus, seperti halnya kopi yang dibuatnya telah banyak dinikmati penikmat kopi dalam dan luar negeri. Dia sudah mengirimkan produknya ke Korea Selatan, kemudian selanjutnya rencana ke Taiwan dan Australia.

"Penikmat kopi itu biasanya senang ceritanya, dan ini ada ceritanya kopi geotermal yang diklaim satu-satunya di dunia," katanya.

Inovasi baru yang dikembangkan PT PGE dengan pelaku usaha kopi tersebut mendapatkan dukungan dari Dinas Pertanian Kabupaten Garut karena telah membantu mempercepat proses pengeringan yang hasilnya memberikan keuntungan bagi petani.

Dukungan itu membantu petani bisa lebih cepat dalam penyediaan barang ketika ada permintaan pasar dengan jumlah besar dan juga bisa menjaga kualitas kopi secara konsisten, dan tidak mudah terserang jamur akibat lama disimpan.

Dipatenkan

Inovasi pengeringan kopi itu bagian dari praktik terbaik dalam pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang meraih penghargaan di ajang ASEAN Renewable Energy Project Awards 2024 untuk kategori off-grid thermal yang digelar di Vientiane, Laos.

Penghargaan ditujukan untuk mempromosikan inisiatif-inisiatif clean coal technology (CCT), efisiensi energi, dan pengembangan energi terbarukan sekaligus mengapresiasi praktik-praktik terbaik dalam pengembangan energi.

Inovasi PT PGE itu sudah resmi memiliki Sertifikat Paten Sederhana tahun 2024 dari Kementerian Hukum dan HAM sebagai bukti klaim pertama mengembangkan inovasi tersebut di Indonesia bahkan dunia.

Kini hasil dari kopi itu terus mengembangkan pemasarannya secara global, seperti saat ini kopi produknya sudah bisa diekspor ke Jerman dan Jepang tahun 2025, dan ada potensi pasar lain yakni Arab Saudi, Korea Selatan, dan Uni Emirat Arab.

kan uap buangan sebagai sumber panas alternatif pertama di dunia untuk proses pengeringan ceri kopi secara efisien dan ramah lingkungan, serta mendukung ekonomi sirkular berbasis energi bersih.

Di sana terdapat dua bangunan sederhana tak berdinding kayu, baja ringan, dan plastik bening penutup ruangan agar kedap udara. Tapi cahaya matahari tetap bisa menembus ruangan yang dilengkapi perangkat pengatur suhu ruangan agar bisa diatur antara 33 sampai 50 derajat celcius,

Tempat tersebut mampu mengeringkan 6 ton ceri kopi yang beroperasi 24 jam dengan kemampuan proses pengeringan tiga kali lipat lebih cepat dibandingkan cara lama penjemuran konvensional memanfaatkan panas matahari.

Bernilai ekonomis

Bagi Moh Ramdan Reza, keberadaan rumah pengeringan panas bumi di Kamojang telah banyak membantu menjalankan usaha kopinya, terutama dalam proses pengeringan yang lebih cepat dan lebih ringan biaya operasionalnya.

Pria berusia 34 tahun yang disapa dengan nama panggilan Deden itu mendedikasikan hidupnya untuk berbisnis kopi. Dia merupakan mitra yang memanfaatkan program CSR dari PGE. Saat ini dia fokus mengembangkan kopi Kamojang , dan kopinya yang sudah bersaing dengan produk kopi unggulan lainnya di berbagai daerah dan juga mancanegara.

Padahal jauh sebelumnya saat mulai terjun ke bisnis kopi tahun 2015, Deden kerepotan karena harus bergantung pada kondisi cuaca untuk proses pengeringan buah kopi.

Deden bersama sejumlah pegawainya akan sibuk ketika panen kopi tiba. Selain harus mempersiapkan modal juga harus melakukan proses penjemuran buah kopi di hamparan yang membutuhkan lahan luas di bawah terik sinar matahari.

Proses pengeringan kopi secara konvensional bergantung pada kondisi cuaca. Apabila cuaca panasnya normal setiap hari maka bisa menghabiskan waktu 30 hari untuk proses kopi natural. Namun jika kondisinya hujan atau mendung bisa sampai 40 hari atau lebih.

Lebih repot lagi ketika turun hujan secara tiba-tiba. Kopi yang dijemur di hamparan terbuka itu harus segera ditutupi plastik, atau segera dimasukkan ke tempat teduh agar tidak terkena air hujan. Jika terlambat, proses pengeringan bisa saja lebih lama lagi.

Berbeda dengan sistem pengeringan kopi dengan metode pemanfaatan panas bumi yang menurut Deden jauh lebih mudah. Metode itu tidak hanya memangkas biaya produksi, tapi memangkas waktu jadi lebih cepat. Untuk pengolahan kopi natural lama proses pengeringannya bisa sepekan atau paling lama 10 hari.

Waktu yang jauh lebih singkat itu, bagi Deden, memberikan keuntungan dalam biaya proses produksi dibandingkan dengan cara konvesional yang harus melibatkan pekerja minimal dua orang dengan upah Rp100 ribu per hari dengan target pengeringan selama 30 hari.

Waktu selama 30 hari itu tentunya pelaku usaha harus mengeluarkan biaya sebesar Rp3 juta. Jika waktunya lebih lama, maka beban upah akan lebih besar untuk sampai menjadi green bean.

Bisnis Sosial

Bagi Deden, pengembangan bisnis kopi dengan pemanfaatan panas bumi itu untuk membangun kewirausahaan sosial yang bisa melibatkan banyak masyarakat dari hulu sampai hilir, tidak ada lagi pihak yang dirugikan, melainkan semuanya untung.

Berkat teknolgi pengeringan itu, biaya yang biasanya digunakan untuk proses pengeringan yang lama bisa dialihkan untuk membeli hasil kopi dengan harga lebih tinggi. Misalkan biasanya ceri kopi Rp16 ribu per kilogram, melalui konsep sosial ini bisa dibeli dari petani dengan harga Rp17 ribu sampai Rp18 ribu per kilogram.

Kerjasa sama yang dibangun oleh PT PGE tersebut tentu diharapkan Deden bisa terus berkelanjutan, sehingga secara berkala memberikan pelatihan budidaya, kemudian pupuk, dan juga bibit untuk peluasan lahan.

Cara berbisnis yang dilakukan Deden bersama PT PGE itu dapat mempersempit kesenjangan petani dengan produsen.

"Saya ingin mempersempit kesenjangan petani dengan produsen. Jangan produsen saja yang semakin kaya, tapi petani juga harus kaya," katanya.

Pemanfaatan panas bumi untuk pengeringan kopi berbasis bisnis sosial itu tidak hanya oleh Deden. Ada pebisnos kopi lainnya yakni pemilik Asli Kopi Kamojang Arabika (Akkar) Aki Undang (72) yang memiliki kedai di sekitar PT PGE, Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Bandung.

Aki Undang mendukung adanya inovasi pengeringan kopi dengan metode panas bumi karena membantu mempercepat pengeringan dibandingkan dengan proses penjemuran.

Selain Undang, pelaku usaha kopi dari Kampung Legok Pulus, Desa Sukakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut juga juga memanfaatkan panas bumi untuk proses pengeringan kopi.

Dia adalah Ahmad Nur Fathurodin yang menilai keberadaan geothermal dry house itu telah memudahkan dalam proses pengeringan ceri kopi tanpa penjemuran panas matahari.

Menurut dia teknologi itu masih terus perlu dikembangkan agar mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Juga bisa lebih diperluas tempatnya yang saat ini baru mampu menampung 6 sampai 8 ton ceri kopi.

Kopi dari hasil pengeringan kopi itu, menurut Ahmad, memiliki pasar yang bagus, seperti halnya kopi yang dibuatnya dengan merk Penyoeka Kopi telah banyak dinikmati penikmat kopi dalam dan luar negeri. Dia sudah mengirimkan produknya ke Korea Selatan, kemudian selanjutnya rencana ke Taiwan dan Australia.

"Penikmat kopi itu biasanya senang ceritanya, dan ini ada ceritanya kopi geotermal yang diklaim satu-satunya di dunia," katanya.

Inovasi baru yang dikembangkan PT PGE dengan pelaku usaha kopi tersebut mendapatkan dukungan dari Dinas Pertanian Kabupaten Garut karena telah membantu mempercepat proses pengeringan yang hasilnya memberikan keuntungan bagi petani.

Dukungan itu membantu petani bisa lebih cepat dalam penyediaan barang ketika ada permintaan pasar dengan jumlah besar dan juga bisa menjaga kualitas kopi secara konsisten, dan tidak mudah terserang jamur akibat lama disimpan.

Dipatenkan

Inovasi pengeringan kopi itu bagian dari praktik terbaik dalam pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang meraih penghargaan di ajang ASEAN Renewable Energy Project Awards 2024 untuk kategori off-grid thermal yang digelar di Vientiane, Laos.

Penghargaan ditujukan untuk mempromosikan inisiatif-inisiatif clean coal technology (CCT), efisiensi energi, dan pengembangan energi terbarukan sekaligus mengapresiasi praktik-praktik terbaik dalam pengembangan energi.

Inovasi PT PGE itu sudah resmi memiliki Sertifikat Paten Sederhana tahun 2024 dari Kementerian Hukum dan HAM sebagai bukti klaim pertama mengembangkan inovasi tersebut di Indonesia bahkan dunia.

Kini hasil dari kopi itu terus mengembangkan pemasarannya secara global, seperti saat ini kopi produknya sudah bisa diekspor ke Jerman dan Jepang tahun 2025, dan ada potensi pasar lain yakni Arab Saudi, Korea Selatan, dan Uni Emirat Arab.

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire