Top
Begin typing your search above and press return to search.

Rekreasi yang jadi ritual pencarian validasi

Rekreasi, sejatinya adalah ruang jeda—cara manusia merawat jiwa dari tumpukan beban dan rutinitas. Kini, jeda itu berubah menjadi ritual perjalanan demi mengumpulkan validasi.

Rekreasi yang jadi ritual pencarian validasi
X

Sumber foto: Antara/elshinta.com.

Rekreasi, sejatinya adalah ruang jeda—cara manusia merawat jiwa dari tumpukan beban dan rutinitas. Kini, jeda itu berubah menjadi ritual perjalanan demi mengumpulkan validasi.

Di tengah fenomena ini, Kementerian Pariwisata tentu menangguk berkah dari ramainya wisatawan. Hanya saja, jangan sampai Kementerian Kesehatan ikut-ikutan "panen"…, tapi pasien jiwa.

Di atas kertas, rekreasi masih dipahami sebagai jeda: ruang bernapas di antara tuntutan hidup yang semakin rapat. Manusia berlibur untuk melepas, bukan untuk menambah beban.

Namun dalam kenyataannya, jeda itu pelan-pelan berubah menjadi semacam upacara modern—sebuah ritual perjalanan yang kini tak lagi ditujukan untuk diri sendiri, melainkan untuk khalayak yang bahkan tak kita kenal.

Dulu, orang pergi ke pantai untuk mendengar debur ombak, menenangkan kepala, atau sekadar membiarkan kaki tenggelam sebentar di pasir. Kini, agenda utama sering bergeser: memastikan kamera menangkap sudut terbaik, sebelum mata sempat menikmati pemandangan itu sendiri.

Rekreasi seolah menjadi transaksi: kita menukar waktu libur dengan satu set visual yang—kalau beruntung—bisa mendapatkan “persetujuan sosial”.

Tak heran jika objek wisata tumbuh seperti studio foto terbuka. Kementerian Pariwisata boleh saja bersyukur karena angka kunjungan meningkat; industri konten juga ikut menangguk keuntungan.

Tetapi, di balik semua itu, ada kegelisahan yang tak kasatmata: seberapa banyak energi mental yang habis untuk memastikan liburan terlihat menyenangkan, alih-alih benar-benar terasa menyenangkan.

Ketika liburan yang semestinya menyembuhkan justru menambah tekanan—dari kecemasan tampil buruk di foto, hingga rasa bersalah karena liburan “tidak seestetik orang lain”. Beban mental yang tidak disadari itu makin menumpuk.

Bukan mustahil, suatu hari nanti Kementerian Kesehatan akan menghadapi panen pasien yang kelelahan secara emosional, korban dari tren rekreasi yang lebih menuntut performa dibanding pemulihan.

Demi validasi

Jika dulu orang berlibur untuk mengambil jarak dari rutinitas, kini justru rutinitas baru yang tercipta: memastikan setiap detik liburan tampil sempurna di kamera.

Ada yang sibuk mengatur rambut sebelum angin laut mengacaknya, ada yang mengulang langkah tiga kali demi rekaman slow-motion yang “lebih halus”, atau menunda sarapan karena pencahayaan untuk foto makanan “belum ideal”. Rasanya, liburan itu hanya sah jika ada bukti visual yang bisa dipamerkan.

Sosiolog Amerika kelahiran Kanada Erving Goffman, yang terkenal dengan teori dramaturgi, rupanya masih relevan dikaitkan dengan fenomena kebaruan. Menurutnya, manusia kerap mengatur kesan yang ingin ditampilkan, seolah sedang berada di panggung.

Dalam konteks liburan masa kini, panggung itu bernama kamera ponsel.

Sementara, sosiolog Inggris John Richard Urry menyebutnya sebagai tourist gaze—pandangan wisatawan yang terfokus pada apa yang layak direkam kameranya untuk dibagikan.

Nyatanya, performa di depan kamera menjadi agenda utama. Kita berdiri di tebing, tapi bukannya menikmati laut yang birunya memukau, justru sibuk mengecek apakah garis horizon sudah simetris.

Kita masuk ke kafe unik, tapi alih-alih merasakan atmosfernya, kita lebih cemas pada warna kursinya, apakah cocok dengan setelan pakaian hari itu. Objek wisata yang tadinya ingin kita nikmati, perlahan turun derajat menjadi latar belakang semata.

Hal yang ironis, obsesi mengabadikan momen sering kali membuat momennya sendiri hilang. Kita datang ke air terjun, tapi tidak benar-benar melihat air mengalir—konsentrasi kita tersedot pada aplikasi kamera.

Kita mengunjungi desa budaya, tapi tidak sempat mengenal kehidupan masyarakatnya, karena terlalu sibuk mencari titik foto yang “paling Instagrammable”.

Liburan pun bergeser menjadi pekerjaan tambahan: menjadi model, kameramen, sekaligus editor konten bagi diri sendiri.

Dan inilah bagian paling lucu, sekaligus melelahkan: validasi sosial yang dikejar itu tidak pernah selesai.

Setelah foto diunggah, masih ada tugas lanjutan—menunggu komentar, menghitung jumlah suka (like), memantau siapa yang melihat. Kita seperti meminjam harga diri dari reaksi orang lain. Momen yang seharusnya menjadi perjalanan batin, berubah menjadi perlombaan impresi.

Rekreasi hati

Di tengah kecenderungan liburan yang kian mirip sesi pemotretan panjang, kita kadang lupa bahwa esensi rekreasi tidak selalu menuntut perjalanan jauh.

Di antara hiruk-pikuk perjalanan yang lebih sibuk mengurus citra daripada merawat jiwa, mungkin ada baiknya kita menengok ulang makna rekreasi.

Sebab pada dasarnya, rekreasi adalah pemenuhan kebutuhan rohani—ruang untuk bernapas, setelah keseharian yang melelahkan. Ketika liburan berubah menjadi ajang performa, bagian terdalam dari tujuan itu, justru luput.

Sementara ada bentuk rekreasi yang tidak membutuhkan tiket masuk, kamera, atau panorama yang viral—rekreasi yang justru berlangsung di ruang paling dekat.

Kadang, penyegaran jiwa tidak datang dari pesawat yang terbang jauh, tidak harus ditempuh dengan koper besar dan kamera siap siaga. Ada bentuk rekreasi yang jauh lebih tenang dan tidak menuntut apapun: rekreasi hati, menyelam ke dalam diri.

Ia hadir dalam jeda-jeda kecil yang kita berikan kepada diri sendiri—ketika kita duduk diam tanpa agenda, ketika pikiran berhenti berlompatan, ketika kita mengizinkan batin mengambil jeda dari kebisingan dunia.

Rekreasi hati bisa muncul dari hal sederhana: menikmati sinar pagi di halaman, mendengarkan desir angin, menyapa tetangga yang lewat, atau sekadar memberi penghargaan pada kehadiran diri sendiri.

Pada titik ini, kita tidak mengejar validasi, tidak menunggu komentar atau tanda suka; kita hanya kembali menjadi manusia yang sedang istirahat dan bersyukur.

Dan justru di sinilah paradoksnya: semakin jauh kita berlari mengejar konten, semakin jauh pula kita dari ketenangan yang sebetulnya kita cari.

Sementara ketika kita berhenti sejenak, menatap ke dalam, dan menyadari karunia yang ada di sekitar, rekreasi menjadi lebih jujur, lebih bersahaja, dan lebih menyembuhkan.

Rekreasi hati adalah undangan lembut untuk mengistirahatkan diri dari kewajiban tampil. Untuk mengingat bahwa kesejahteraan jiwa tidak lahir dari pemandangan viral, tetapi dari hubungan kita dengan diri sendiri dan lingkungan yang kita huni.

Mungkin inilah bentuk rekreasi yang selama ini hilang: perjalanan ke dalam, yang tidak butuh kamera, tetapi memberi ruang bagi ketenangan yang sesungguhnya.

Pada akhirnya, mungkin kita perlu bertanya dengan jujur: apakah kita masih berlibur untuk pulih, atau hanya ingin terlihat seperti seseorang yang sedang berlibur?

Sebab kalau rekreasi berubah menjadi ritual mencari pengakuan, yang letih bukan hanya tubuh, melainkan jiwa yang tak kunjung mendapat ruang untuk beristirahat.

Kita sibuk menciptakan citra tentang hidup yang terasa ringan, sementara kehidupan yang sebenarnya tak pernah diberi kesempatan untuk diringankan.

Barangkali, sesekali, ada baiknya kita meletakkan gawai, menurunkan ekspektasi, dan membiarkan dunia mengalir tanpa perlu dibuktikan. Sebab ketenangan yang tidak sempat kita unggah, justru sering menjadi ketenangan yang paling kita butuhkan.

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire