Adopsi kendaraan listrik dipengaruhi fenomena "kanibalisme pasar"
Research Associate ID COMM, Claudius Surya menilai pergeseran menuju mobil listrik di Indonesia saat ini lebih banyak dipengaruhi fenomena “kanibalisme pasar”, yakni perpindahan konsumen dari mobil bensin (ICE) ke kendaraan listrik akibat perang harga, bukan perluasan pasar baru.

Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Research Associate ID COMM, Claudius Surya menilai pergeseran menuju mobil listrik di Indonesia saat ini lebih banyak dipengaruhi fenomena “kanibalisme pasar”, yakni perpindahan konsumen dari mobil bensin (ICE) ke kendaraan listrik akibat perang harga, bukan perluasan pasar baru.
Menurut Claudius, dinamika penjualan kendaraan dalam dua tahun terakhir memperlihatkan pola yang tidak ideal bagi perluasan pasar.
“Yang terjadi sekarang adalah peralihan dari mobil ICE ke mobil listrik, bukan penambahan pembeli baru. Konsumennya itu-itu saja, hanya bergeser karena harga makin agresif,” kata Claudius dalam diskusi peluncuran riset ID COMM “Menuju Era Mobil Listrik: Sejauh Mana Indonesia Siap” di Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan, produsen mobil listrik kini terlibat dalam perang harga yang ketat untuk menarik minat konsumen.
Model-model baru ditawarkan dengan harga semakin rendah, sehingga beberapa merek terpaksa memangkas margin secara ekstrem.
“Price war ini di satu sisi menguntungkan konsumen, tapi berisiko membuat beberapa merek tidak bertahan karena margin makin tipis dan persaingan makin keras,” ujar Claudius.
Selain tekanan harga, siklus pembaruan model yang semakin cepat membuat industri harus beradaptasi lebih agresif.
Menurut dia, kendaraan listrik kini mengalami pembaruan model hanya dalam dua tahun, jauh lebih singkat dibandingkan mobil konvensional.
Kondisi tersebut menambah tantangan bagi produsen untuk menjaga stabilitas bisnis ketika insentif pemerintah masih berubah-ubah.
Claudius menegaskan bahwa adopsi kendaraan listrik masih belum inklusif. Segmen menengah ke bawah belum menunjukkan perpindahan signifikan menuju EV, meski harga model-model tertentu sudah semakin terjangkau.
“Harapannya, pengguna mobil murah konvensional bisa naik ke mobil listrik, tapi faktanya belum. Yang membeli EV saat ini tetap kelompok menengah ke atas,” ujarnya.
Ia juga menyoroti preferensi konsumen yang cenderung lebih tertarik pada model serbaguna seperti kendaraan tujuh penumpang, sehingga beberapa merek yang peka terhadap kebutuhan tersebut mampu menembus pasar lebih cepat.
“Mobil yang value for money, sesuai kebutuhan, dan tidak berlebihan teknologinya, cenderung lebih diterima konsumen Indonesia,” katanya.
Dalam konteks perilaku pembeli, Claudius menilai komunitas pengguna turut memainkan peran signifikan dalam membentuk kepercayaan publik terhadap kendaraan listrik.
“Karena adopsinya masih di fase awal, orang belajar dari sesama pengguna. Komunitas menjadi sumber informasi utama dan jauh lebih dominan dibandingkan di mobil berbahan bakar fosil,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa keberlanjutan pasar kendaraan listrik di Indonesia akan sangat dipengaruhi stabilitas kebijakan dan konsistensi insentif.
Produsen membutuhkan kepastian agar strategi harga, model, dan investasi dapat disusun dalam jangka panjang.
“Selama pasar tetap atraktif dan regulasi mendukung, EV akan terus tumbuh. Tapi adopsinya perlu diarahkan agar tidak berhenti di segmen tertentu saja,” pungkas Claudius.




