Dari judi daring ke AI: Indonesia menolak kolonialisme digital global

Ilustrasi - Kecerdasan buatan untuk kesehatan. ANTARA/Shutterstock/am. ANTARA/Shutterstock
Ilustrasi - Kecerdasan buatan untuk kesehatan. ANTARA/Shutterstock/am. ANTARA/Shutterstock
Keprihatinan Presiden Prabowo Subianto yang disuarakan di KTT APEC di Korea Selatan beberapa waktu lalu tentang bahaya aktivitas perjudian daring bukanlah eksklusif hanya tentang Indonesia, tetapi menyimpan hal yang lebih esensial secara global.
Bukan hanya tentang dampak kerugian ekonomi per tahun yakni sebesar 8 miliar dolar AS atau sekitar Rp133,5 triliun yang diderita oleh Republik Indonesia, tetapi persoalan itu mencerminkan tren yang lebih besar dan sangat berbahaya mengenai aktivitas digital yang tidak diatur selayaknya.
Selain aktivitas perjudian, kejahatan lainnya seperti penipuan siber, pencurian data, dan perdagangan daring ilegal juga menggerogoti pendapatan nasional, mengganggu stabilitas sistem keuangan, dan melemahkan kepercayaan publik di seluruh dunia.
Untuk itu, kepala negara RI sudah sangat tepat untuk mengingatkan bahwa tanpa kerja sama internasional yang lebih kuat dan etika digital bersama, ancaman-ancaman ini tidak hanya dapat merusak perekonomian nasional tetapi juga integritas ekosistem digital global yang menopang pembangunan dan konektivitas modern.
Guna mengatasi berbagai risiko ini, Indonesia tentu dapat mendorong kerangka kerja global yang mendorong transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam tata kelola digital.
Selain itu, mengadvokasi standar AI yang etis, perlindungan data yang lebih kuat, dan pengembangan kapasitas yang inklusif bagi negara-negara berkembang, Indonesia dapat membantu memastikan bahwa kemajuan teknologi tetap berpusat pada manusia dan melayani kesejahteraan kolektif, alih-alih kekuasaan yang terpusat.
Hal ini harus dilandasi dengan kesepahaman bahwa tantangan digital yang terjadi saat ini lebih luas, jauh melampaui kerugian terhadap kondisi ekonomi, karena pertumbuhan kecerdasan buatan, eksploitasi data, dan manipulasi algoritma yang tak terkendali mengancam memperdalam ketimpangan global, menyebarkan misinformasi, dan mengikis fondasi etika.
Kondisi ekosistem digital yang tidak diatur seringkali mengutamakan sejumlah pihak yang memiliki dominasi teknologi, sehingga membuat negara-negara berkembang rentan terhadap eksploitasi dan ketergantungan.
Dapat dilihat dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara berpenghasilan tinggi semakin menentukan arah tata kelola digital melalui inisiatif seperti Undang-Undang AI Uni Eropa dan dominasi Amerika Serikat di platform teknologi utama.
Meski kerangka kerja dari teknologi ini memiliki kecanggihan yang sangat memukau, seringkali didominasi prioritas dan nilai-nilai Barat, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang bagi negara-negara berkembang untuk memengaruhi standar global, sehingga membuat banyak negara berkembang berakhir sebagai konsumen pasif.
Dengan kata lain, konsumen di banyak negara hanya menjadi "korban" dari algoritma yang tidak transparan yang tertanam dalam aplikasi impor, layanan cloud, dan perangkat AI yang tidak dapat mereka audit atau atur sepenuhnya.
Ketidakseimbangan ini berisiko melanggengkan kolonialisme digital, di mana data dan inovasi mengalir satu arah dan keluar dari negara-negara berkembang tanpa adanya manfaat atau perlindungan yang setara.
Perspektif Selatan
Menghadapi semua itu, dunia sangat membutuhkan perspektif tata kelola digital yang dipimpin oleh Global South atau kumpulan negara-negara Selatan.
Perspektif yang etis, inklusif, dan berpusat pada manusia itu adalah untuk memastikan kecerdasan buatan mendukung kesejahteraan sosial, alih-alih memperkuat dominasi perusahaan.
Kerangka kerja semacam itu akan mencerminkan realitas dan nilai-nilai negara-negara berkembang, di mana teknologi seharusnya memberdayakan manusia, bukan mengeksploitasi mereka.
Indonesia telah mengisyaratkan pergeseran ini melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang menekankan prinsip "AI yang berpusat pada manusia" dalam KTT APEC, serta menekankan bahwa etika harus diutamakan daripada inovasi yang tak terkendali.
Pernyataan Airlangga merupakan langkah penting memosisikan negara-negara Selatan sebagai kontributor aktif dalam membentuk etika AI global.
Strategi diplomatik Indonesia dalam menghubungkan etika AI dengan isu-isu seperti perjudian daring dan penipuan digital mencerminkan visi yang lebih luas untuk memperlakukan teknologi tidak hanya sebagai masalah teknis atau regulasi, tetapi juga sebagai tantangan moral dan sosial-ekonomi.
Dengan demikian, Indonesia ke depannya dapat membingkai ulang transformasi digital sebagai isu keadilan, kedaulatan, dan martabat manusia—nilai-nilai yang sangat bergema di seluruh kawasan Asia-Pasifik dan belahan bumi selatan.
Ini karena sebenarnya banyak negara berkembang berbagi pengalaman dengan Indonesia dalam menghadapi kejahatan siber lintas batas, meningkatnya misinformasi, dan ketergantungan digital pada teknologi yang diciptakan di tempat lain.
Tantangan-tantangan ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan aksi kolektif yang berakar pada fondasi etika bersama di dunia.
Indonesia berada di posisi yang tepat untuk mempelopori inisiatif semacam itu dengan memanfaatkan kredibilitasnya sebagai jembatan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Platform seperti APEC, ASEAN, Gerakan Non-Blok (GNB), dan BRICS dapat menjadi titik masuk strategis bagi Indonesia untuk memperkenalkan Piagam Etika AI Global Selatan, yang dapat menjadi sebuah kerangka kerja sama yang memprioritaskan transparansi kesejahteraan manusia, serta inklusivitas karena mencerminkan konteks budaya dan sosial Global Selatan.
Melalui inisiatif ini, Indonesia dapat mentransformasi komitmen domestiknya terhadap AI yang etis menjadi gerakan global yang memperjuangkan kesetaraan, kedaulatan digital, dan kemakmuran bersama di era teknologi.
Dalam negeri
Di dalam negeri sendiri, Indonesia telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk membangun fondasi etika yang kuat bagi tata kelola kecerdasan buatan.
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid telah mengingatkan bahwa pihaknya tengah menyusun regulasi yang mengatur adopsi kecerdasan buatan nasional dengan memprioritaskan peraturan terkait etika dan keamanan, seperti menyiapkan Buku Putih Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional.
Langkah itu dinilai sebagai fondasi awal bagi negara untuk menerima adopsi teknologi AI. Ke depannya, pemerintah akan menyiapkan beberapa peraturan turunan dari Buku Putih tersebut.
Senada, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria mengatakan Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional dirancang untuk menyeimbangkan inovasi teknologi AI dan proteksi dari risiko yang ditimbulkannya.
Nezar menegaskan bahwa tata kelola yang kuat menjadi kunci agar teknologi AI dapat bermanfaat bagi masyarakat dan ekonomi nasional.
Ketegasan itu menggarisbawahi posisi pemerintah RI yang menekankan transparansi, akuntabilitas, dan "kepercayaan sejak awal" sebagai prinsip-prinsip panduan. Dengan mengintegrasikan privasi, keamanan, dan keadilan ke dalam sistem AI, Indonesia bertujuan menciptakan teknologi yang mencerminkan nilai-nilai budaya sekaligus mendukung kesejahteraan manusia, membuka jalan bagi transformasi digital yang bertanggung jawab dan inklusif.
Melalui fondasi ini, Indonesia kini berada di posisi yang tepat untuk memimpin negara-negara berkembang dalam mempromosikan tata kelola AI yang etis.
Untuk langkah selanjutnya, Indonesia bisa melibatkan transformasi prinsip-prinsip kebijakan domestik menjadi kolaborasi internasional dengan memprakarsai dialog regional dan multilateral.
Indonesia, misalnya, dapat mengusulkan pembentukan Forum Etika AI Negara-negara Berkembang, pertukaran peningkatan kapasitas, dan kerangka regulasi bersama yang menekankan keadilan dan kedaulatan data.
Melalui ASEAN, GNB, dan BRICS, Indonesia dapat mengadvokasi standar etika bersama yang melindungi hak asasi manusia dan kesetaraan digital. Kepemimpinan ini akan memperkuat suara kolektif negara-negara berkembang dalam membentuk tatanan digital global yang seimbang, yang berakar pada integritas dan inklusi.
Berbagai hal tersebut menunjukkan bahwa pesan Indonesia kepada dunia tetap konsisten: teknologi tidak boleh mengeksploitasi manusia, melainkan melayaninya.
Dari memerangi perjudian daring hingga membentuk etika AI, Indonesia menunjukkan bahwa tanggung jawab moral dan inovasi dapat hidup berdampingan.
Dalam konteks AI, maka pemanfaatannya harus berpusat pada manusia, transparansi, dan kerja sama sehingga memberikan alternatif yang ampuh bagi sistem digital yang semata-mata berorientasi profit.
Dengan diplomasi inklusif dan landasan domestik yang kuat, Indonesia menawarkan cetak biru yang dapat diikuti oleh negara-negara berkembang lainnya, guna memastikan teknologi bukanlah sebagai alat dominasi, tetapi pembentuk masa depan digital yang dibangun di atas nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan bersama.




