AS akhirnya akui Israel kemungkinan lakukan pelanggaran HAM di Gaza
Amerika Serikat untuk pertama kalinya mengakui bahwa pasukan Zionis Israel kemungkinan telah melakukan "ratusan kali" pelanggaran HAM di Gaza, sebagaimana disimpulkan oleh sebuah kajian penilaian rahasia di Departemen Luar Negeri AS.

Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Amerika Serikat untuk pertama kalinya mengakui bahwa pasukan Zionis Israel kemungkinan telah melakukan "ratusan kali" pelanggaran HAM di Gaza, sebagaimana disimpulkan oleh sebuah kajian penilaian rahasia di Departemen Luar Negeri AS.
Menurut laporan The Washington Post pada Kamis, temuan Inspektorat Jenderal Departemen Luar Negeri ini merupakan laporan pertama dari pemerintah AS yang menyatakan bahwa tindakan Israel dapat ditindak berdasarkan “Undang-Undang Leahy”, yang melarang AS memberikan bantuan kepada negara yang terlibat dalam pelanggaran HAM.
Dua pejabat AS yang tidak disebutkan namanya, karena laporan tersebut bersifat rahasia, menyebut bahwa penyelidikan atas kasus-kasus tersebut dapat memakan waktu bertahun-tahun.
Temuan itu juga menimbulkan kekhawatiran mengenai akuntabilitas, mengingat banyaknya insiden serta proses peninjauan yang diserahkan sepenuhnya kepada pihak Israel begitu saja.
“Yang membuat saya khawatir adalah akuntabilitas akan terlupakan sekarang karena kebisingan konflik sudah mereda,” kata Charles Blaha, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS yang pernah memantau penerapan “Undang-Undang Leahy.”
Laporan tersebut dirampungkan menjelang tercapainya gencatan senjata antara Hamas dan Israel, yang mencakup pembebasan sandera Israel, pertukaran tahanan Palestina, penarikan terbatas pasukan Zionis Israel, serta pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza.
“Undang-Undang Leahy” atau Leahy Law, dinamai berdasarkan pengusung utamanya, Senator Patrick Leahy, bertujuan mencegah bantuan AS jatuh ke tangan unit militer asing yang terlibat dalam penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, atau pelanggaran HAM berat lainnya.
Pemerintahan AS sebelumnya di bawah Presiden Joe Biden menyatakan belum mencapai “kesimpulan yang definitif” terkait apakah senjata buatan AS digunakan dalam pelanggaran HAM di Gaza.
AS tercatat telah memberikan bantuan tahunan senilai hingga 3,8 miliar dolar AS (sekitar Rp63,2 triliun) kepada Israel. Dengan tambahan bantuan miliaran dolar dan penjualan senjata dalam beberapa tahun terakhir, Israel menjadi penerima bantuan terbesar dari AS.
Dua pejabat AS yang tak disebutkan namanya itu menyatakan bahwa laporan rahasia tersebut mengungkap adanya sistem penyaringan khusus yang digunakan baik oleh pemerintahan Partai Demokrat maupun Republik, yang memberikan keleluasaan lebih dan menguntungkan Israel.
Josh Paul, mantan pejabat Deplu AS, menjelaskan bahwa sementara satu pelanggaran saja dapat membatalkan bantuan militer bagi negara lain, dalam kasus Israel, otoritas AS harus “mencapai kesepakatan terlebih dahulu mengenai apakah pelanggaran HAM berat benar-benar terjadi.”
“Hingga saat ini, AS belum menangguhkan satu pun bantuan kepada Israel meski bukti-buktinya jelas,” ujarnya.
Pemerintahan Biden sempat menghadapi kecaman karena terus memberikan bantuan kepada satuan militer Israel yang diduga terlibat kekerasan, termasuk unit yang berperan dalam kematian warga Palestina-Amerika Omar Assad (78) pada 2022 setelah ditangkap di sebuah pos pemeriksaan di Tepi Barat.
Militer Israel kala itu menyatakan Assad meninggal akibat serangan jantung yang dipicu stres setelah diikat dan dibungkam, dan menyebut insiden tersebut sebagai “kegagalan moral dan kesalahan pengambilan keputusan.”
Namun sejak kembali menjabat awal tahun ini, Presiden AS Donald Trump telah mencopot 17 inspektur jenderal yang sebelumnya ditunjuk oleh presiden.
Genosida yang dilakukan Israel di Jalur Gaza sejak Oktober 2023, yang menewaskan lebih dari 68.500 orang, membuat Undang-Undang Leahy kembali menjadi sorotan.
Kasus-kasus utama yang dinilai perlu ditinjau antara lain pembunuhan tujuh relawan kemanusiaan World Central Kitchen oleh Israel pada April 2024, serta tewasnya lebih dari seratus warga Palestina saat berkumpul di sekitar truk bantuan di dekat Gaza City pada Februari 2024.







