Top
Begin typing your search above and press return to search.

Bencana Sumatra: 442 meninggal, ratusan hilang, ahli sebut daya dukung lingkungan kolaps

Bencana Sumatra: 442 meninggal, ratusan hilang, ahli sebut daya dukung lingkungan kolaps
X

Bencana banjir di Sumatra terjadi di akhir November 2025

Hingga Minggu (30/11/2025) malam, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sedikitnya 442 orang meninggal serta lebih dari 400 warga masih hilang dalam bencana banjir bandang dan longsor yang melanda sebagian wilayah Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.

Cuaca ekstrem disebut sebagai pemicu awal, namun kerusakan lingkungan dinilai memperparah skala bencana hingga menjadi salah satu yang terburuk dalam sejarah hidrometeorologi Indonesia.

Dalam wawancara bersama Radio Elshinta di Edisi Pagi, Senin (1/12/2025), Pendiri Indonesia Water Institute yang juga Peneliti dan Pengajar Teknik Lingkungan Universitas Indonesia, Dr. Ir. Firdaus Ali, M.Sc, menyebut bencana ini sebagai kejadian dengan energi destruktif sangat massif, akibat kombinasi anomali cuaca dan lemahnya daya dukung alam.

Firdaus menjelaskan, intensitas hujan yang turun dalam 10 hari terakhir bersifat ekstrem dan dinamis. Curah hujan tercatat mencapai lebih dari 300 mm dalam 24 jam, bahkan di beberapa lokasi melampaui 355 mm hanya dalam 12 jam.

Disebutkan bahwa di beberapa tempat di negara lain dengan curah hujan serupa, dampaknya tidak sebesar ini karena vegetasi dan daerah hulunya masih terjaga.

Ia menegaskan bahwa kerusakan lingkungan di hulu DAS, pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan, serta topografi curam memperbesar energi aliran permukaan (runoff), menyebabkan banjir bandang membawa gelondongan kayu dan sedimen dalam jumlah besar.

Menurut Firdaus, persoalan paling akut bukan hanya cuaca ekstrem, tetapi hilangnya kemampuan alam mereduksi air.

"Jadi ini memang sangat anomali ya, tapi sekali lagi, yang memperburuk itu karena daya tampung, daya dukung lingkungan kita memang tidak mampu menampung curah hujan sebesar itu," tegasnya kepada News Anchor Suwiryo.

Sedimen yang menumpuk lama akibat pembukaan hutan memperkuat dorongan aliran, menciptakan banjir bandang yang menyapu rumah, kendaraan, dan infrastruktur seperti jembatan serta jalan penghubung antardaerah.

Firdaus menilai Indonesia kini berada pada fase krisis iklim, bukan lagi sekadar perubahan iklim.

“Ke depan, cuaca ekstrem akan semakin sering terjadi. Ini harus dikatakan apa adanya. Kita tengah melewati fase yang tidak mudah,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa peningkatan emisi gas rumah kaca dan kenaikan suhu global mendorong tingginya uap air di atmosfer, sehingga mempercepat pembentukan sistem cuaca ekstrem.

Ketika ditanya faktor paling krusial yang membuat kerusakan semakin parah, Firdaus menyebut pengawasan lingkungan sebagai titik terlemah.

“Perilaku manusia membuka lahan selalu ada. Yang kurang adalah pengawasan. Selama itu lemah, berbagai aturan dan regulasi kehilangan efektivitas,” katanya.

Dari izin perkebunan hingga izin pertambangan, ia menilai banyak celah yang membuat pembukaan lahan berlangsung luas tanpa mitigasi memadai. Ia menegaskan bahwa pembangunan yang mengabaikan lingkungan hanya menciptakan siklus bencana berulang.

Dalam penjelasannya, Firdaus menyampaikan bahwa peristiwa ini adalah bentuk “protes alam” akibat kesalahan manusia.

Ia berharap pemerintah, termasuk di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, menunjukkan konsistensi dalam penegakan hukum lingkungan dan tidak berhenti pada jargon.

“Kerugian akibat bencana ini luar biasa besar dibandingkan manfaat ekonomi yang dinikmati segelintir kelompok yang merusak lingkungan,” tegasnya.

Upaya pemulihan lingkungan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dinilai sangat mungkin dilakukan, namun membutuhkan waktu panjang dan konsistensi.

Penulis: Sukma Salsabilla/Ter

Sumber : Radio Elshinta

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire