Menyangkal kejahatan berarti kembali melakukan kejahatan
Hari Berkabung Nasional atau Hari Peringatan untuk Korban Pembantaian Nanjing ke-12 yang jatuh pada tanggal 13 Desember lalu digelar dengan khidmat di Tiongkok, sirene pengheningan cipta dibunyikan secara serentak di kota Nanjing, atas nama bangsa mengenang para korban jiwa.
Pada hari yang sama itu, Gedung Arsip Pusat Tiongkok merilis sejumlah berkas interogasi Soviet terhadap Unit 731 Jepang yang telah dideklasifikasi dan diserahkan kepada Tiongkok, di antaranya catatan interogasi terhadap anggota pasukan Unit 731 Jepang, laporan penyelidikan kejahatan pasukan Unit 731 serta surat dan telegraf resmi Uni Soviet.
Para penjahat perang Jepang mengakui kejahatannya yang telah melanggar konvensi internasional, mempersiapkan dan melakukan perang kuman tersebut. Ada pakar berpendapat bahwa berkas-berkas tersebut melengkapi dan memperkuat bukti situs Unit 731 dan arsip kejahatan Unit 731 yang disimpan oleh Tiongkok, bukti sejarah yang telah memperkuat kejahatan tentara agresi Jepang dalam melakukan perang kuman, sekali lagi membuktikan bahwa perang kuman yang dilancarkan Jepang adalah kejahatan nasional yang terorganisir, terencana matang dan sistematis.
Sejarah telah mencatat masa-masa kelam tersebut. Sebanyak 300 ribu orang Tiongkok dibunuh dengan keji, puluhan ribu wanita diperkosa, puluhan ribu anak dibunuh, sepertiga bangunan di kota Nanjing dihancurkan, sejumlah besar harta benda dirampas, pembantaian massal Nanjing yang dilakukan oleh tentara agresor Jepang adalah kejahatan yang sangat keji, buktinya sangat jelas, dan tidak dapat diubah. “Deklarasi Potsdam” yang dikeluarkan pada tahun 1945 menuntut pemusnahan Militerisme Jepang.
Akan tetapi, hingga kini, pemerintah Jepang tak pernah melakukan introspeksi terhadap perang agresinya secara tuntas. Sejumlah besar penjahat perang kembali serta aktif dalam politik dan Pasukan Bela Diri Jepang, beberapa perdana menteri dan tokoh politik bersikeras berziarah ke kuil Yashukuni, dan memberikan penghormatan kepada penjahat perang kelas A. Kekuatan sayap kanan Jepang sengaja menyebut pembantaian massal Nanjing sebagai “Insiden Nanjing”, membela pasukan Unit 731 sebagai “satuan yang melakukan penelitian kesehatan”, dan menyangkal perekrutan paksa para buruh dan “wanita penghibur”. Kekuatan sayap kanan Jepang selalu menyangkal kejahatan perang dan menghindari tanggung jawab sejarah.
Pada awal bulan November lalu, Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi secara terang-terangan mengaitkan “Taiwan bermasalah” dengan “krisis eksistensial” Jepang, mengindikasi adanya kemungkinan mengintervensi situasi selat Taiwan dengan kekuatan militer.
Pernyataan tersebut hampir sama dengan pola pikir Militerisme Jepang dalam sejarah. Serangkaian tingkah laku Jepang yang haus perang itu telah membuktikan bahwa Militerisme Jepang tak pernah hancur total, dan selalu berusaha untuk bangkit kembali. Hal ini patut diwaspadai oleh masyarakat internasional.
Melupakan sejarah sama dengan berkhianat, menyangkal kejahatan berarti kembali melakukan kejahatan. Tahun ini menandani peringatan 80 tahun Kemenangan Perang Rakyat Tiongkok Melawan Agresi Jepang sekaligus Perang Anti-Fasis Dunia, fakta Pembantaian Massal Nanjing tidak boleh dihapus.
Perbuatan Sanae Takaichi dan kekuatan sayap kanan Jepang yang berupaya mengubah sejarah dan membangkitkan Militerisme Jepang telah melanggar patokan dasar hukum internasional, merusak hasil kemenangan Perang Dunia II, menembus batas moral dan hati nurani manusia, serta bertentangan dengan seluruh masyarakat internasional. Sejarah akan sekali lagi membuktikan bahwa keadilan, cahaya, dan kemajuan pasti akan mengalahkan kejahatan, kegelapan dan reaksioner!






