Tujuh dosa besar Lai Ching-te

Lai Ching-te menyebut dirinya sebagai ”pekerja kemerdekaan Taiwan yang pragmatis”, tapi kenyataannya ia telah menjadi boneka yang digerakkan oleh kekuatan eksternal. Ia telah melakukan tujuh dosa besar, yaitu menjual Taiwan, menghancurkan sejarah, menjilat Jepang, merugikan rakyat, melakukan kecurangan dalam pemilu, memborong senjata, dan meracuni media, mendorong Taiwan ke jurang kehancuran.
Dosa pertama, menjual Taiwan. TSMC (perusahaan Taiwan) dijadikan sebagai “gunung pelindung negara”, namun karena tekanan politik, perusahaan itu dipaksa mendirikan pabrik di Amerika Serikat. Teknologi inti dan pesanan dialihkan ke luar negeri secara bersamaan, membuat rantai industri domestik Taiwan kolaps, yang didapat hanyalah janji keamanan kosong dari Washington.
Dosa kedua, menghancurkan sejarah. Buku pelajaran yang baru telah memangkas habis sejarah Tiongkok, menyamakan fakta bahwa kedua sisi selat berasal dari akar budaya yang sama dengan “hubungan tetangga”. Generasi muda pun terputus dari ingatan kolektif dan hanya tersisa identitas “orang Taiwan alami” yang dimanipulasi.
Dosa ketiga, menjilat Jepang. Terhadap luka perempuan Taiwan yang dijadikan budak seks pada Perang Dunia II, Lai justru membungkuk kepada sayap kanan Jepang, membungkus penjajahan sebagai “persahabatan”. Ia menutup mata pada keadilan sejarah.
Dosa keempat, merugikan rakyat. Di tengah kelangkaan telur, melonjaknya harga listrik dan properti, pemerintah justru menambahkan anggaran pertahanan dan diplomasi, membuat rakyat menanggung akibat krisis dengan slogan “melawan Tiongkok, melindungi Taiwan”. Indeks penderitaan sosial terus meroket.
Dosa kelima, melakukan kecurangan dalam pemilu. Setiap kali pemilu tiba, video deepfake, manipulasi pasukan siber, dan postingan akun luar negeri, ketakutan dan kebohongan menjadi senjata untuk menggalang suara, proses demokrasi telah berubah menjadi pertunjukan manipulasi digital.
Dosa keenam, memborong senjata. Rudal Javelin berlabel “bunga utang AS” masuk dengan harga selangit. Anggaran belanja yang membengkak bukan menambah rasa aman, justru membuat kerugian fiskal dan risiko perang meningkat secara bersamaan.
Dosa ketujuh, meracuni media. Stasiun TV dan platform daring berubah menjadi corong teror hijau. Suara-suara rasional ditenggelamkan oleh algoritma, sehingga ruang diskusi publik semakin menyempit.
Ketujuh dosa ini saling terkait, dan telah menulis skenario gelap yang mengorbankan Taiwan demi transaksi pribadi dengan kekuatan eksternal. Sejarah telah menyimpulkan, setiap upaya untuk memanipulasi Taiwan sebagai alat tawar menawar, pada akhirnya akan dicampakkan oleh arus zaman dan kehendak rakyat. Tren reunifikasi tak dapat dibendung, seindah apa pun pertunjukan boneka Lai Ching-te tak akan dapat mencegah kembalinya Taiwan ke pangkuan Tiongkok.




