3 September 1951: Bung Karno `Nyaba` Banten

Untuk pertama kalinya setelah kemerdekaan (17 Agustus 1945) dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (19 Desember 1949), Bung Karno menginjakkan kakinya kembali di Banten, tepatnya pada 1951. Sebelumnya ia pernah datang ke Banten—walaupun hanya singgah—pada 1938. Ketika itu, saat masih menjadi tahanan politik pemerintah kolonial Hindia-Belanda, Bung Karno dipindahkan dari Flores ke Bengkulu. Merak menjadi tempat persinggahan Bung Karno, sebelum melanjutkan perjalanan ke pelabuhan Tanjung Karang, Lampung, disambung jalur darat menggunakan bus ke Bengkulu.
Adapun pada 1944, Bung Karno pernah datang ke Bayah, Kabupaten Lebak. Ia adalah kolaborator Jepang dalam pengerahan romusha di Banten Selatan. Kala itu para romusha tengah melaksanakan pembangunan rel kereta api sepanjang 89 kilometer dari Saketi, Pandeglang, hingga tambang batu bara di Bayah. Di sana Bung Karno menyampaikan pidato untuk membakar semangat para romusha agar membantu Jepang, sebagai Saudara Tua yang tengah menghadapi sekutu.
Bagi Bung Karno, Banten bukanlah tempat yang asing, hanya sepelemparan batu dari ibukota Jakarta. Kunjungannya pada 1951 kali ini bukan sebagai tahanan politik ataupun kolaborator di masa perang, melainkan sebagai presiden dari bangsa yang baru seumur jagung. Tapi apa yang melatarbelakangi lawatan Bung Karno pada tahun itu? Mengapa Banten yang dipilih?
Bila ditelisik lebih jauh, masyarakat adat Baduy dalam keadaan tertentu biasa mengirim utusan untuk mengunjungi presiden—di samping juga silaturahmi ke bupati Lebak dan gubernur Serang pada tradisi seba.[3] Mereka beberapa kali bertemu Sukarno. Setahun sebelum kunjungannya ke Banten, Bung Karno menerima dua orang warga Baduy di Istana Negara. Jadi apakah kunjungan bung Karno Ke Banten setelah kemerdekaan ini adalah lawatan balasan atas kunjungan warga Baduy ke Istana Negara?
Berdasarkan agenda yang dipublikasikan, Bung Karno menyampaikan pidato di Merak, Serang, Pandeglang, Rangkasbitung, Leuwidamar, dan Tangerang yang dijadwalkan dari 3 hingga 5 September. Rombongan kepresidenan berangkat Senin pagi dari Istana Merdeka ke Tanjung Priok, di mana ia akan melakukan perjalanan dengan kapal ke Merak.
Perjalanan kemudian dilanjutkan menggunakan mobil, melalui Tasikardi dan Banten Lama menuju Serang, tempat Bung Karno akan berpidato pada rapat massa di sore hari. Pada Selasa Pagi, Bung Karno dijadwalkan menuju Pandeglang, Rangkasbitung, dan Leuwidamar. Setelah berpidato di pertemuan pemuda di Rangkasbitung pada Rabu pagi, rombongan akan kembali ke Jakarta melalui Petir, Balaraja, dan Tangerang, tempat pertemuan massa terakhir.
Agenda yang dipublikasikan di surat kabar sejak 31 Agustus ini benar terjadi. Beberapa media online menyebut Soekarno batal ke Banten pada 1951 dan terdapat narasi tumpang tindih antara kunjungan di tahun 1951 dan 1957. Oleh karena itu tulisan ini juga mencoba meluruskan narasi serta mencoba menjelaskannya secara kronologis.
Bung Karno tiba di Merak sekitar pukul satu siang, disambut oleh Residen Banten, Tubagus Bakri—dan pembesar lainnya—yang menemuinya di atas kapal. Ia lalu turun dan berdiri di podium tinggi di area dermaga. Kedatangannya disambut dengan antusias. Pada kesempatan itu Bung Karno bercerita mengenai dirinya yang juga berada di teluk Merak tiga belas tahun lalu, sebagai tahanan yang dipindahkan dari Flores ke tempat pengasingannya yang baru di Bengkulu:“Dan sekarang saya kembali kepada Anda sebagai Presiden Republik Indonesia yang merdeka. Kita berhutang budi kepada Allah dan kepada rakyat kami yang berjumlah tujuh puluh juta jiwa, yang menginginkan kebebasan ini”.
Di hadapan ribuan orang yang mendengarnya di Merak kala itu, Bung Karno juga berbicara perlunya persatuan, pembangunan lebih giat dan jangan dihambat oleh percekcokan-percekcokan di antara sesama, serta semua upaya untuk mencapai tujuan itu.
Setelah presiden berpidato singkat di Merak, tujuan selanjutnya ialah kota Serang. Untuk menuju ke sana, rombongan melalui jalan Tonjong-Terate (nama sekarang), melewati kawasan Banten lama dan danau Tasikardi. Di telaga yang sudah ada sejak periode kesultanan Banten ini, rombongan berhenti untuk istirahat sejenak, sambil minum kelapa muda. Di Serang, Bung Karno berpidato dalam bahasa Sunda. Ia mengatakan bahwa dalam menghadapi perjuangan pembangunan, pertama-tama bangsa Indonesia harus menyelamatkan negara dari pertentangan internasional.