Elshinta.com - Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan menjadi momen yang akan paling dikenang oleh setiap pasangan. Karena itu, persiapan menuju hari bahagia ini harus disiapkan sebaik mungkin. Bagi calon pengantin, seringkali mereka merasa kesulitan untuk mencari vendor-vendor pernikahan yang sesuai dengan keinginan dan budget mereka. Ditambah lagi, vendor pernikahan yang terlibat itu tidaklah sedikit.
Hal ini juga yang dirasakan oleh Kevin Mintaraga saat mempersiapkan pesta pernikahannya pada 2012 lalu. “Pada saat itu karena enggak ada informasi yang lengkap jadi bener-bener menghabiskan banyak waktu untuk riset dan sebagainya” ujar Kevin. Kesulitan menemukan vendor pernikahan itu lah yang nantinya mengilhami Kevin untuk mendirikan Bridestory.
Bridestory merupakan sebuah startup teknologi yang mengkhususkan diri sebagai marketplace untuk vendor pernikahan. Startup ini berdiri sejak April 2014 dan telah melebarkan sayapnya ke luar negeri. Sampai saat ini, Bridestory telah digunakan oleh 6-7 juta pengguna yang tersebar di tiga negara yaitu Indonesia, Singapura dan Filipina.
Melalui platform berbasis website dan aplikasi mobile, Bridestory menampilkan ribuan wedding vendor di berbagai kota dan negara dari 28 kategori seperti venue pernikahan, baju pernikahan, foto, desain kartu undangan, katering dan masih banyak lainnya. Pengguna dapat melakukan pencarian vendor yang sesuai dengan keinginan dan budget mereka dengan lebih praktis.
“Buat mereka melakukan wedding planning itu praktis banget. Cukup buka aplikasi kita, cukup browse. Kita punya jutaan inspirasi, kita punya puluhan wedding vendor yang lengkap dari berbagai kota dan kategori, dan juga dari berbagai range of budget sehingga bisa memudahkan mereka menemukan wedding vendor yang tepat untuk pernikahan mereka.” ujar pria yang sebelumnya mendirikan perusahaan agensi digital tersebut.
Dari Hilda hingga Bridestory Pay
Selain memberi kemudahan pencarian vendor dari direktori yang ada, Bridestory juga memiliki fasilitas konsultasi melalui fitur chatting dengan ahli perencana pernikahan. Fitur yang dinamakan Hilda tersebut juga sudah mulai dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) agar bisa lebih cepat membantu pengguna.
Seperti diketahui, kecerdasan buatan merupakan teknologi yang populer saat ini dan masih terus dilakukan pengembangan. Teknologi ini memungkinkan program dapat belajar dan mengembangkan kemampuannya sehingga mampu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang tadinya hanya dapat dikerjakan oleh manusia.
Hilda akan menanyakan preferensi pernikahan calon penganti seperti konsep, lokasi, dan budget sehingga nantinya Hilda bisa memberikan rekomendasinya kepada pengguna. Sejauh ini, Hilda masih merupakan program semi automation yang memerlukan peran manusia untuk memberikan saran pada pengguna. Namun, Kevin mengungkapkan bahwa teknologi ini akan terus dikembangkan sehingga bisa memberikan lebih banyak otomatisasi.
Dari sisi fitur pembayaran, baru-baru ini Bridestory meluncurkan Bridestory Pay yang merupakan solusi pembiayaan pernikahan kerjasama dengan Blibli.com. Sejumlah keuntungan ditawarkan bagi para calon pengantin seperti perlindungan pembatalan pernikahan, cashback, serta cicilan 0 persen hingga 24 bulan dari lebih 15 bank di Indonesia.
Menjadi unicorn
Bridestory menjadi satu dari 44 startup di Indonesia yang disebut Kominfo akan menjadi unicorn atau startup dengan valuasi USD 1 milyar. Disinggung mengenai hal ini, Kevin hanya ingin mengamini saja dan mengaku tidak menargetkan secara khusus menjadi unicorn. “Saya diamini saja ya. Kita sih enggak fokus ke situ. Kita fokus untuk terus memberikan solusi terbaik buat calon pengantin dan vendor. Menjadi unicorn atau tidak itu hasil dari fokus yang kita kerjakan saat ini. “ kata Kevin
Sejak berdiri tahun 2014 lalu, Bridestory telah mendapatkan pendanaan dari sejumlah investor. Seperti yang dilansir dari Tech in Asia pada Maret 2015, Bridestory secara resmi mendapatkan pendanaan Seri A dari Rocket Internet Group, Sovereign’s Capital, East Ventures1, dan Fenox VC. Skystar Capital dan Lippo Digital Ventures juga turut menyuntikkan dananya ke Bridestory. Namun, tidak disebutkan berapa besarnya pendaaan tesebut.
Bridestory sendiri menerapkan model bisnis membership di mana vendor yang terdaftar membayar sejumlah biaya setiap tahun dengan nominal yang berbeda-beda sesuai kategorinya. Bridestory juga menawarkan fitur campaign di platform miliknya agar vendor bisa memaksimalkan pemasarannya pada pengguna. Selain itu, Bridestory juga memiliki produk majalah dan kegiatan pameran vendor pernikahan di Indonesia dan Singapura.
Menurut Kevin, wedding market juga tumbuh dengan baik di berbagai negara. Bridestory melakukan ekspansi pertamanya ke Singapura pada 2016. Setelah berhasil di Singapura, Bridestory lalu melebarkan sayapnya di Filipina. Kevin bertekad untuk terus meraih pasar di negara-negara Asia Tenggara lainnya. “Kita melihat wedding market nggak Cuma growing di Indonesia tapi juga di berbagai negara di Asia Tenggara”. ujarnya.
***
Anda bisa membaca informasi seputar startup pada eMajels edisi Desember 2018. Klik di sini untuk membaca atau kunjungi elshinta.com/majalah-elshinta untuk edisi lainnya