Elshinta.com - Kemerdekaan Republik Indonesia tidak diterima sepenuhnya oleh Belanda hingga pada waktu itu, di tahun 1948. Berbagai upaya dilakukan oleh mereka untuk kembali menjajah Indonesia. Begitupun halnya bangsa Indonesia, bermacam usaha dilakukan untuk membela kedaulatan Indonesia.
Perjuangan dan diplomasi mewarnai upaya kedua bangsa. Dari mulai perjanjian Linggarjati yang disepakati bersama antara bangsa Indonesia dan Belanda, lalu diingkari oleh Belanda, mereka terus tidak puas, berusaha tetap menguasai Indonesia.
Perundingan pun kembali digelar. Pada perjanjian kali ini, yang disebut dengan perjanjian Renville, kedua pihak Indonesia dan Belanda meminta bantuan internasional.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa pun berusaha menengahi. Dibentuklah Good Offices Committee (GOC) atau disebut Komisi Tiga Negara (KTN). Indonesia menunjuk Australia, Belanda memilih Belgia dan Amerika dipilih oleh kedua negara berseteru, Indonesia maupun Belanda.
Pertemuan dilangsungkan di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, yang kebetulan sedang bersandar di pelabuhan Jakarta, makanya perjanjian itu disebut Perjanjian Renville.
Indonesia diwakili Perdana Menteri Amir Sjarifudiddn dan Belanda diwakili Gubernur Jenderal Van Mook.
Perjanjian yang berlangsung pada 17 Januari 1948 itu menyepakati gencatan senjata namun juga memberikan keutungan di pihak Belanda.
Mereka mendapat tambahan wilayah kekuasaan. Perjanjian Renville hanya memberikan janji referendum di Jawa, Madura dan Sumatera.
Rakyat di wilayah jajahan Belanda dijanjikan boleh memilih bergabung ikut Republik Indonesia Serikat (RIS) atau membentuk negara sendiri. Sebelum RIS terbentuk, Belanda tetap menguasai seluruh Indonesia.
Wilayah kekuasaan Indonesia dan Belanda dibatasi oleh garis demarkasi yang dinamai Garis Van Mook. Tentara Indonesia juga harus ditarik mundur dari wilayah kekuasaan Belanda.
Kemudian, akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda yang dikepalai oleh Raja Belanda dan akan ada referendum atau pemungutan suara untuk menentukan nasib wilayah dalam RIS.
Perjanjian Renville hanya membuat wilayah Indonesia semakin sedikit. Wilayah yang kaya sumber alam dan sumber pangan dikuasai oleh Belanda.
Tak hanya pembatasan pangan, sandang dan sejenisnya, Belanda juga memblokade perekonomian.
Dalam bukunya Mengabdi Republik: Angkatan 45 (1978) Adam Malik menyebut Perjanjian Renville bagi Indonesia jauh lebih buruk dan merugikan. Ribuan tentara dari Divisi Siliwangi di Jawa Barat berbondong-bondong pindah ke Jawa Tengah akibat Perjanjian Renville.
Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV (1948) karangan Pramoedya Ananta Toer, menyebut, rakyat kecewa terhadap perjanjian itu.
Sejumlah partai menarik dukungan dari pemerintah sebagai bentuk penolakan atas keputusan itu. Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mundur dari jabatannya pada 23 Januari 1948.
Belanda langsung mendeklarasikan pemerintahan federal di Sumatera, meski sebagian Sumatera adalah wilayah Indonesia.
Meski menang banyak dari Perjanjian Renville, Belanda lagi-lagi mengingkari kesepakatan. Pada 18 Desember 1948 pesawat Belanda DC-3 Dakota menerjunkan pasukan di Ibu Kota negara di Yogyakarta, yang selanjutnya dikenang sebagai Agresi Militer Belanda II.