Elshinta.com - Pada 20 Januari 1978 tujuh harian Jakarta, yaitu Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, Pelita, Pos Sore, Indonesia Times, dan Sinar Pagi dibreidel alias dilarang terbit.
Keputusan ini dipicu karena pemberitaan yang mengandung unsur hasutan yang bisa mengganggu stabilitas nasional.
Soeharto akhirnya menilai pers yang kritis menjadi hambatan serius yang harus dipadamkan demi menjalankan kekuasaan yang bebas dari kontrol independen.
Pada masa konsolidasi waktu itu, sebetulnya Orde Baru membutuhkan dukungan pers. Orde Baru juga membuka ruang kebebasan dalam dunia pers nasional, apalagi jika dibanding zaman Demokrasi Terpimpin.
Antara tahun 1965 sampai 1972 Soeharto mengeluarkan banyak sekali izin penerbitan (SIT) hingga 1.559 penerbitan.
Namun begitu, pengekangan masih tetap ada. Salah satunya yang terjadi pada 1969 Harian Warta Berita dilarang terbit karena memuat pidato pemimpin komunis Korea Utara, Kim Il Sung.
Awal tahun 1970 tekanan pada kebebasan pers makin serius. Pihak militer tidak mau media mempublikasikan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Pemerintah belum siap menerima kritik, akibatnya wartawan harus mengemas tulisan sedemikian rupa agar tidak jadi petaka bagi diri mereka sendiri di belakang hari.
Pada 1971 Harian Kami dan Duta Masyarakat dilarang terbit sehubungan liputan mereka tentang Pemilu 1971. Begitu juga Sinar Harapan, dibreidel terkait dengan laporan mereka tentang korupsi di pemerintahan.
Jenderal Soemitro, Wakil Panglima ABRI dan Panglima Kopkamtib, pada 19 Januari 1972 memanggil para pemimpin redaksi harian di Jakarta. Pada pertemuan yang ramah itu ia mengingatkan para pemimpin redaksi agar bisa, “jaga lidah” demi tercapainya stabilitas nasional.
Setahun berikutnya pada 1973, intervensi pihak militer pada dunia pers nasional semakin dalam. Mereka berusaha mengontrol PWI dengan mencalonkan Harmoko sebagai ketua. Pemerintah melihat Harmoko lebih bisa dikontrol daripada wartawan-wartawan senior lainnya pada masa itu.
Kongres PWI ke-15 yang diadakan di Tretes akhirnya dimenangkan oleh Harmoko, pers menjadi alat kontrol bagi stabilitas kekuasaan. Sejak itu pers Indonesia mengalami masa suram hingga dasawarsa ke depan.