4 November 2016: Dibalik kericuhan Aksi Damai 4 November
Pernyataan Basuki Tjahaya Purnama saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta di Kepulauan Seribu tentang surat Al Maidah ayat 51 ternyata memicu kontroversi. Basuki mungkin tidak menyangka jika ucapannya itu ternyata berbuntut panjang.

Elshinta.com - Pernyataan Basuki Tjahaya Purnama saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta di Kepulauan Seribu tentang surat Al Maidah ayat 51 ternyata memicu kontroversi. Basuki mungkin tidak menyangka jika ucapannya itu ternyata berbuntut panjang.
Aksi demo pun muncul pada 4 November 2016 atau Aksi Damai 411 untuk menuntut proses hukum terhadap Ahok agar dipercepat terkait ucapannya itu. Sekitar 18 ribu aparat gabungan dikerahkan untuk mengamankan aksi tersebut. Sebanyak 2 ribu personel TNI dan 16 ribu aparat kepolisian disiagakan untuk mengamankan jalannya aksi unjuk rasa tersebut.
Baca juga Aksi Damai memprotes pernyataan Basuki Tjahaja Purnama
Aksi tidak hanya dilakukan di Jakarta. Di beberapa daerah aksi demo 4 November juga berlangsung ramai. Sangat disayangkan, aksi yang berlangsung damai dan aman ternyata berakhir ricuh. Kericuhan terjadi di depan Istana.
Dugaan penunggang gelap
Sejak awal, kecurigaan kalau aksi ini bukan hanya sekedar mempermasalahkan Ahok sudah merebak. Diduga, ada pihak tertentu yang memanfaatkan gerakan ini untuk tujuan lain.
Salah satunya adalah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. "Kalau ada oknum yang ingin membangun sebuah negara baru, ideologi baru, atau ingin menjadi presiden, silakan tunggu mekanisme lima tahunan yang sudah ada (pemilu)," kata dia.
Pendapat ini juga didengungkan oleh Kepala Pusat Penerangan TNI Brigjen Wuryanto, bahkan mengibaratkannya seperti gerakan Arab Spring, di mana ada upaya penggulingan kekuasaan.
Baca juga Kontroversi ucapan Ahok yang berujung ricuh di Istana
Luapan kemarahan
Peneliti dari Pusat Studi Asia Murdoch University Ian Wilson mengatakan ada penyebab lain. "Kita harus mempertimbangkan konteks lain. Sejak menjadi gubernur pada tahun 2014, Ahok sudah menjalankan kampanye penggusuran dan relokasi paling agresif sepanjang sejarah modern kota Jakarta," kata dia dalam tulisan berjudul Making Enemies Friends.
Semenjak berkuasa, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat ada 113 kasus penggusuran, yang merugikan 8315 kepala keluarga dan 600 unit usaha. Memang kebijakan ini populer di kalangan kelas menengah sebagai upaya menjegal masalah berkepanjangan seperti banjir, macet, dan ketiadaan hukum.
Namun, tidak demikian bagi mereka yang menjadi korban. Kemarahan mereka inilah yang kemudian menemukan wadah dari aksi unjuk rasa yang digalang ormas. Isu penggusuran, ditambah lagi dengan gosip adanya keterlibatan pengembang Tionghoa dibelakangnya, menyuburkan kemarahan yang terpendam. Dugaan penistaan agama lewat pidato kunjungan kerja di Kepulauan Seribu pada September lalu, adalah saat api mencapai ujung sumbu.
Sebenarnya, demonstrasi dengan mendompleng isu agama sudah bukan hal yang baru. FPI telah lama terkenal dengan aksi mereka menegakkan 'hukum' ala mereka sendiri, yang tentu berbasis agama.
Namun, kemarahan mereka terhadap Ahok yang diduga menistakan agama, bukannya dapat dikesampingkan begitu saja. "Aksi 4 November tidak akan terjadi kalau Ahok diproses hukum sejak dilaporkan ke Bareskrim," kata Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago.
Demo ini, lanjutnya, menjadi ujian bagi pemerintah. Bisakah memperlakukan warganya sama, bukan ada yang tidak tersentuh hukum.
(Dikutip dari berbagai sumber)