Berlangsung tiga menit, sidang tuntutan JEP ditunda
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mempertanyakan dikabulkannya permintaan jaksa oleh majelis hakim untuk menunda persidangan yang memasuki pembacaan tuntutan pada terdakwa kasus asusila, Julianto Eka Putra yang digelar di Pengadilan Negeri Kelas I A, Malang, Jawa Timur, Rabu (20/7).

Elshinta.com - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mempertanyakan dikabulkannya permintaan jaksa oleh majelis hakim untuk menunda persidangan yang memasuki pembacaan tuntutan pada terdakwa kasus asusila, Julianto Eka Putra yang digelar di Pengadilan Negeri Kelas I A, Malang, Jawa Timur, Rabu (20/7).
Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait mengungkapkan seharusnya pembacaan tuntutan dibacakan karena sudah final karena itu pihaknya segera melakukan komunikasi dan menanyakan secara langsung pada Kajati Jawa Timur perihal penundaan jaksa penuntut umum yang menunda pembacaaan tuntutan.
“Ada apa dengan kasus ini,” ujar Aris Merdeka Sirait pada Kontributor Elshinta, El-Aris, Rabu (20/7).
Padahal, lanjut Arist tuntutan yang bakal dibacakan tersebut merupakan jawaban dari korban kasus pelecehan seksual yang dilakukan terdakwa Julianto Eka Putra.
“Ini menjadi preseden buruk dunia peradilan dan kita telah memprediksi sejak predator anak ini tidak ditahan dan baru sidang ke 19 ditahan. Apalagi sebelumnya Kajati Jawa Timur menjamin pembacaan tuntutan hari Rabu (20/7) dan tentu saja Komnas PA tidak akan diam salah satunya adalah bersurat kepada Kejati maupun Ketua Pengadilan Negeri Kota Malang untuk melakukan upaya hukum lain.” tegas Arist.
Disinggung adanya upaya untuk mengulur waktu, Arist Merdeka Sirait membenarkan adanya upaya tersebut. “Dan ini sudah nampak mulai dari penanganan di Polda Jawa Timur hingga dalam kewenengan kejaksaan dan jalani sidang tidak ditahan hingga saat ini ada penundaan tuntutan dan cara-cara ini sudah umum dilakukan,” jelasnya.
Sementara itu Edi Sutomo juru bicara jaksa penuntut umun mengungkapkan penundaan dilakukan karena pihaknya perlu mempelajari terkait alasan yuridis guna meyakinkan majelis hakim.
“Semalaman kita pelajari berkas dan cek ricek dan memang kami putuskan untuk ditunda guna dilengkapi dengan memasukkan analisa yuridis dan fakta-fakta sidang yang ada guna meyakinkan majelis hakim dan siap pada sidang tanggal 27 Juli 2022 mendatang dan tertutup dilakukan secara online,” tandasnya.
Sementara itu sidang yang digelar di PN Kelas I A Malang diwarnai demo dari berbagai aliansi yang mendukung agar terdakwa dihukum berat.
Sebelumnya, tim pembela (pengacara) terdakwa Julianto Eka Putra, pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Hotma Sitompoel meminta semua pihak menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
Hal tersebut dikatakannya, menanggapi merebaknya asumsi yang berkembang di masyarakat atau penggiringan opini terkait kasus yang menimpa kliennya.
Menurut Hotma berdasarkan fakta persidangan, seluruh saksi termasuk siswa dan guru yang hadir dipersidangan tidak mengetahui ada isu dugaan persetubuhan dan/atau percabulan di sekolah Selamat Pagi Indonesia.
“Baru mendengar isu dugaan persetubuhan dan/atau percabulan tersebut pada saat diberitakan di media,” ungkapnya.
Hotma menilai, banyak pihak di luar perkara yang turut memberikan komentar negatif tanpa dilandasi fakta yang sebenarnya. Dia pun menuding, ada yang menunggangi perkara dan menyudutkan kliennya.
“Kami akan ambil tindakan hukum kepada semua pihak yang ikut menghakimi terdakwa dengan opini tanpa menyertakan fakta. Semua orang sama di hadapan hukum,” tegas Hotma dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa (19/7/2022).
Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Sharon ini menjelaskan, pihaknya mengajak masyarakat untuk mengawal jalannya persidangan yang digelar terbuka untuk umum di Pengadilan Negeri Malang.
Sebab, semua fakta soal kasus dugaan pencabulan yang dilakukan kliennya ada dalam persidangan. Beberapa saksi yang dihadirkan pun banyak yang menepis perbuatan terdakwa seperti yang dilaporkan.
Selain itu, menurut Hotma, kasus yang menimpa pemilik SPI tersebut penuh rekayasa, bahkan telah menjadi peradilan jalanan ( Hakim Hakim Jalanan) yang telah menghakimi kliennya sebelum peradilan berjalan.
Hotma menilai ada motif sakit hati dari mantan anak buah terdakwa JE karena tidak diangkat jadi direktur.