Elshinta.com - Gara-gara membeli makanan siomay, Mulyana DS alias Zenzen harus duduk di kursi pesakitan atau diadili di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Senin (1/8). Terdakwa dipersalahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Melani Simanjuntak SH MH diduga melanggar pasal 378 KUHP.
Melani menyebutkan lelaki lanjut usia itu memesan siomay sampai tiga kali dari seorang pedagang siomay yang sama pertengahan 2021. Dari pemesanan pertama, kedua dan ketiga, terdakwa tidak kunjung mau melunasi pembelian dari pertama sampai terakhir sebesar Rp 4 juta lebih. Oleh karena kesal bolak-balik menagih tak kunjung dibayar, pedagang pun melaporkannya ke Kepolisian.
Usai mendengarkan surat dakwaan JPU Melani, Ketua Majelis Hakim Boko SH MH pun menanyakan kepada terdakwa maupun penasihat hukumnya apakah mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas surat dakwaan JPU tersebut. Baik terdakwa maupun tim penasihat hukumnya menyatakan mengajukan eksepsi. Mendengar itu, Boko memberi kesempatan kepada penasihat hukum menyusun eksepsi. "Sidang berikutnya pekan depan. Seharusnya dibayarkan saja pembelian siomaynya agar masalahnya tidak sampai ke pengadilan ini," ujar Boko mengingatkan, setelah sebelumnya sempat menanyakan apakah terdakwa ditahan, yang dijawab Zenzen, tidak.
JPU Melani Simanjuntak mengaku bahwa pihaknya sudah mencoba menyelesaikan kasus itu lewat rumah keadilan atau Restoratif Justice (RJ). Namun pihak saksi korban tidak mau lagi berdamai. "Dia (saksi korban) diduga sudah terlanjur kesal sebelumnya berulangkali menagih tetapi pembeli itu tidak mau membayarnya," kata Melani.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Dr Fadil Zumhana SH MH menyetujui penghentian penuntutan sebanyak sembilan kasus pidana umum berdasarkan asas keadilan restoratif atau restoratif justice (RJ). “Berkas kasus tersebut sebelumnya dilakukan gelar perkara (ekspose) secara virtual oleh Jampidum Fadil Zumhana,” kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, Senin (1/8) mengutip suarakarya.id.
Berkas kasus yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif itu masing-masing atas nama tersangka Vick F. Lekatompessy dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Seram Bagian Barat. Dia disangka melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tersangka Regina Nifanngilyau Alias Gina dari Kejari Seram Bagian Barat yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka Suroyo Als Wowon Bin Sukirno dari Kejari Metro disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian dan tersangka Irvan Susanto Bin Paino dari Kejari Metro yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
Berikutnya tersangka I Budi Lestari Bin Suronto; tersangka Ii Wanda Feriyanto Bin Agus Sulis; tersangka Iii Faisal Fajri Bin Asdadin; tersangka Iv Abdillah Tri Anggara Bin Eko Hariyono; tersangka V Daniel Mahendra Bin Haryanto dari Kejari Metro yang disangka melanggar Pasal 480 ke- 1 jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP tentang Penadahan.
Selanjutnya tersangka Uu Mas’ud Alias Mas Ud Bin Sudiman dari Kejari Batam yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan dan tersangka Joni Randongkir dari Kejari Biak Numfor disangka melanggar Pasal 406 ayat (1) KUHP tentang Penghancuran/Perusakan Barang.
Tersangka berikutnya Hendra Akbar Als Hendra Bin Husain dari Kejari Buton yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian dan tersangka Dedi Hidayat Alias La Dedi Bin La Samanudin dari Kejaksaan Negeri Buton yang disangka melanggar Pasal 80 ayat (1) jo. Pasal 76 C Undang–undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini, kata Ketut Sumedana, setelah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban memberikan permohonan maaf; tersangka belum pernah dihukum; tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana; ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun.
Selain itu, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya; perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi dan tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.