PDUI sikapi perkembangan sistem kesehatan nasional

Elshinta.com - Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) menyelenggarakan Kongres Nasional (Konas) IV di Hotel Sheraton Gandaria City, Jakarta, 11-13 November 2022.

Dalam kegiatan tersebut, PDUI menyikapi kondisi dan perkembangan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dan aplikasinya di lapangan.

Menurut Ketua Umum Pengurus Pusat PDUI Dr. Abraham Andi Padlan Patarai, M.Kes, masih banyak fakta yang menunjukkan lemahnya pencapaian Sistem Kesehatan Nasional.

Menurut Abraham, ada delapan poin yang dikeluarkan PDUI menyikapi perkembangan SKN pada Konas IV di Hotel Sheraton Jakarta.

"Ke delapan point tersebut meliputi: pelayanan kesehatan yang belum sepenuhnya berkeadilan dan berpihak kepada rakyat, dibuktikan dengan fakta banyaknya kasus stunting, pemakaian susu formula pada bayi baru lahir serta kontradiktif terhadap ASI eksklusif," kata Abraham.

Masih pada point satu, ujar Abraham, termasuk tingginya AKI (Angka Kematian Ibu Bersalin), endemisitas penyakit menular tertentu di daerah-daerah, TB incidence nomor 2 di dunia, incidence Triple Infection (HIV-AIDS, Hepatitis B dan Siphylis) pada ibu hamil tertinggi di Asia Tenggara, Pandemi Covid-19 mempunyai angka kematian yang tinggi di dunia serta meningkatnya penyakit tidak menular semakin pesat.

"Beberapa hal yang masih menjadi catatan pada point satu juga meliputi diabetes mellitus urutan ke-7 dunia, penderita stroke semakin muda usia, penderita gagal ginjal semakin meningkat dll dimana hal ini mengindikasikan Indonesia belum sehat," tambahnya.

Adapun point kedua meliputi kesalahpahaman menyikapi organisasi profesi kesehatan dan kedokteran, sehingga tanpa meminta pendapat konstituennya, tampak terburu-buru, mengkhianati demokratisasi perancangan UU sebelumnya serta pemerintah sepihak mengeluarkan Rancangan UU Omnibuslaw Kesehatan

"Sedangkan point ketiga meliputi regulasi dan kebijakan di bidang kedokteran, antara lain memaksakan lahirnya Dokter SpKKLP yang ternyata tidak jelas kurikulum dan cara pengesahannya," lanjutnya.

Abraham menambahkan, "Untuk point empat meliputi sementara SKDI (Standard Kompetensi Dokter Indonesia) masih jauh tertinggal yakni masih hasil di tahun 2012 (terlambat 10 tahun) dan sudah disempurnakan oleh semua stake holders sesuai amanah UU Praktik Kedokteran untuk penyempurnaan kompetensi dokter umum pada tahun 2018, malah ditahan, tidak disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Padahal perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran global bertambah pesat serta kebutuhan dan demand masyarakat terhadap pelayanan kedokterabn semakin meningkat,"

Point kelima adalah maldistribusi tenaga kesehatan dan dokter yang cenderung diingkari oleh negara/pemerintah, malah meminta Organisasi Profesi menyelesaikan masalah itu. "Jelas ini jauh panggang dari api. Karena tugas OP adalah menjaga kompetensi standar dan meningkatkannya serta membela anggota yang dinyatakan salah padahal sejatinya bukan demikian," ujarnya.

Point keenam meliputi pelayanan kesehatan telah berubah hampir seluruhnya dicover BPJS, namun BPJS resisten terhadap kenyataan bahwa sejak 2014 (8 tahun) tidak meningkatkan paket biayanya, sehingga nyata hal itu sebagai tindakan mengkerdilkan standar pelayanan kesehatan, memberikan pelayanan seadanya.

Untuk point ketujuh, ucap Abraham, KKI sepihak menyatakan organisasi profesi dokter yang baru berdiri, belum mempunyai pranata organisasi yang baku, tidak memiliki SKDI dan landasan ilmiah kedokteran, setara dengan IDI yang telah mapan dan menempatkan standar kedokteran terkait dengan sumpah kepada Allah/Tuhan Yang Maha Kuasa.

"Point kedelapan dokter umum adalah gate keeper dalam pelayanan kesehatan. Sementara pelayanan kesehatan adalah kebutuhan pokok rakyat. Profesi dokter tidak tergantikan, dan membangunnya lama. Fakta dokter umum paling banyak wafat dalam pelayanan selama Pandemi Covid-19," tandasnya.