Elshinta.com - Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali menggelar Kompetisi Pendanaan Pembuatan Film 2023 dari anggaran Dana Keistimewaan DIY. Pada tahun 2023 dana yang dikucurkan untuk pembuatan film sebesar Rp 180 juta per film.
Seniman senior Yogyakarta yang juga sebagai kurator pendanaan film, Ong Hari Wahyu mengatakan Yogyakarta sangat beruntung karena mempunyai pendanaan perfilman dengan nilai yang tidak kecil bahkan cukup besar dari sisi jumlahnya. Maka masyarakat perfilman di Yogyakarta harus bisa mempertahankan. Apabila kualitas perfilman di Yogyakarta jelek dan kualitas manusianya juga buruk maka dana tersebut akan hilang. Dan masyarakat Yogyakarta sendiri yang akan rugi.
"Kita lihat mapnya, di Indonesia, Jogja itu pusat perfilman, banyak temen-temen Jakarta yang cemburu dengan Yogja, banyak orang-orang Jakarta syuting di Yogja, karena brain power ada, tenaga ada. maka marilah pertahankan situasi Yogja sebagai laboratorium bersama sebagai media bersama, bukan sekedar untuk mendapatkan uangnya, bukan piching ikut entuk duet digawe {dapat uang dibikin}, lha duite mbahmu po {emang duit nenekmu}, kui lki duite rakyat je {Itu duitnya rakyat}," ujar Ong Hari Wahyu pada konferensi pers Kompetisi Pendanaan Pembuatan Film 2023, di Bale Tanjung, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Izan Raharjo, Jumat (17/3).
Ong Harry Wahyu yang pernah meraih predikat The best art director dalam Festival Film Indonesia untuk film Daun di atas Bantal yang dibintangi oleh Christine Hakim dan disturadarai oleh Garin Nugroho itu mengatakan bahwa mereka yang ikut dalam kompetesi film dengan menggunakan uang dana keistimewaan ini harus bertanggung jawa baik secara managerial, gagasan dan hasil akhirnya. Oleh karena itu tahun ini pengawasan harus lebih ketat.
"Iki oraoleh semena-mena, akue cemburu je, duit sakmono kok dadine koyo ngene {ini tidak semena-mena, saya aja cemburu, duit sebanyak itu kok jadinya hanya begini}," katanya.
Ia berharap film-film yang dibuat harus menggali nilai-nilai lokal Yogya atau Indonesia, mengambil cerita dari kehidupan di masyarakat. Mengambil dari hal-hal kecil dari masyarakat ditingkat RT seperti kumpulan arisan ibu-ibu dan lainya.
"Kita punya drama-drama tingkat ibu-ibu RT, itu drama menarik ngrasani sana-sini, arisan, hal-hal kecil itu bisa dibikin untuk cerita," tambahnya.
Yogyakarta memiliki pendidikan perfilman yang cukup banyak, dan sekarang peralatan untuk membuat film juga banyak tersedia. Tetapi membuat film itu bukan sekedar tekhnis tetapi film adalah cara berpikir bagaimana mencari dan menemukan skenario yang menarik. Menurutnya, pendanaan dari dana keistimewaab DIY cukup mendukung bahkan cukup besar yaitu Rp 180 juta potong pajak. "Uang sebesar itu cukup untuk membuat film pendek dengan durasi minimal 15 menit," ujarnya.
"Gede danane {besar dananya}, Rp180 juta. Minimla 15 menit, tapi jangan diremehkan bikin 15 menit film pendek itu lebih sulit, karena menceritakan gagasan dalam 15 menit," imbuhnya.
Nissa Fijriani produser film Nyalawadi, mengatakan dana sebesar Rp180 juta sebelum dipotong pajak itu harus bisa dikelola sebaik mungkin agar bisa menjadi sebuah film yang kualitasnya baik sesuai pendanaanya. Kalau bisa kualitas filmnya bisa seperti film dengan dana yang besar. Dana sebesar itu menurutnya mepet untuk pembuatan film pendek.
"Untuk anggaran sekian itu cukup alias mepet, mentok, dicukup-cukupke, misal bisa nambah tentu bisa memebri nafa lebih," katanya.
Ketua Tim Pengembangan Film DIY, Suluh Pamuji, mengatakan tahun ini pendaftaran dan penerimaan proposal dilaksanakan pada 28 April - 12 Mei. Akan ada 5 film yang dibuat dari Dana Keistimewaan melalui Dinas Kebudayaan. Tahun 2022 lalu, pendanaan diberikan kepada 6 sineas muda milik DIY yang menjadi pemenang kompetisi. Film-film produksi pemenang tahun 2022 ini diputar pada Selasa (14/03/2023) di Taman Budaya Yogyakarta. 6 film pemenang kompetisi 2022 ini adalah Lebaran Dari Hong Kong, Nginang Karo Ngilo, Kalananti, Kanaka, Nyalawadi dan Piye Perasaanmu Nek Dadi Aku.