Kolaborasi multi stakeholder, JP2GI dorong pengurangan susut dan sisa pangan di Indonesia
Dalam upaya menyusun peta jalan reduksi susut dan sisa pangan untuk mencapai kemandirian pangan yang berkelanjutan, Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI) bekerja sama dengan Kementerian PPN/Bappenas, The Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) Indonesia dan Life Cycle Indonesia (LCI) Indonesia menggelar Focus Group Discussion (FGD).

Elshinta.com - Dalam upaya menyusun peta jalan reduksi susut dan sisa pangan untuk mencapai kemandirian pangan yang berkelanjutan, Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI) bekerja sama dengan Kementerian PPN/Bappenas, The Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) Indonesia dan Life Cycle Indonesia (LCI) Indonesia menggelar Focus Group Discussion (FGD) Nasional dengan tema "Percepatan Pengurangan Susut dan Sisa Pangan di Indonesia”. FGD kali ini lebih fokus pada penanganan di hulu yaitu mencegah terjadinya susut pangan di sektor produksi, pengolahan/pascapanen dan pengemasan serta distribusi.
“Focus Group Discussion ini merupakan salah satu upaya kolaboratif antara pemerintah, Industri dan masyarakat untuk merumuskan peta jalan yang konstruktif dan aplikatif untuk menurunkan susut dan sisa pangan sebesar 75% pada tahun 2045. FGD kali ini disepakati untuk fokus pada aspek susut pangan yang terjadi di sisi hulu rantai pasok pangan yaitu tahap produksi, tahap pascapanen dan penyimpanan, dan terakhir tahap pemrosesan dan pengemasan dan terakhir tahap distribusi” ujar Dr. Soen’an Hadi Poernomo selaku Ketua Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI).
Dr. Soen’an menjelaskan, Susut pangan biasanya terjadi pada tahap produksi, pasca panen, pemrosesan, hingga distribusi dalam rantai pasokan makanan. Dirinya juga menjelaksakan sisa pangan
“Sisa pangan (food waste) adalah makanan yang telah melewati rantai pasokan makanan hingga menjadi produk akhir, berkualitas baik, dan layak dikonsumsi, tetapi tetap tidak dikonsumsi dan dibuang. Makanan yang dibuang ini termasuk yang masih layak ataupun dibuang karena sudah rusak. Sisa pangan biasanya terjadi pada tingkat ritel dan konsumen”, ujarnya Dr. Soen’an seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Arie Dwi Prasetyo, Senin (2/10).
Dalam FGD ini hadir sebagai pembicara utama Dr. Vivi Yulaswati selaku Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian PPN/Bappenas RI. Dirinya menyinggung terkait Reduksi Susut Pangan Mendukung Ketahanan Pangan Indonesia Emas 2045. Vivi mengatakan perkiraan jumlah penduduk di Indonesia mencapai 324 juta jiwa di tahun 2045, maka dari itu penyediaan dimestik harus semakin meningkat.
”Dengan perkiraan jumlah penduduk sekitar 324 juta jiwa pada tahun 2045, tekanan terhadap penyediaan pangan domestik pada saat itu akan semakin meningat. Oleh karena itu efisiensi penyelenggaraan sistem pangan, sejak pangan diproduksi, penanganan pasca panen, distribusi hingga konsumsi sangatlah penting. Karenanya, dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan pewujudan kemandirian pangan nasional, selain melalui peningkatkan produksi pangan kita juga harus berupaya semaksimal mungkin menekan kehilangan pangan dalam bentuk susut dan sisa pangan” kata Vivi
Selama FGD ini, berbagai pemangku kepentingan termasuk perwakilan dari pemerintah, akademisi, lembaga riset, dunia usaha, organisasi masyarakat sipil, telah berdiskusi intensif untuk mengembangkan rencana aksi konkret dalam mengurangi susut pangan di Indonesia.
FGD ini menciptakan platform bagi kolaborasi dan pertukaran ide yang akan membantu memandu langkah-langkah implementasi yang lebih efektif.
Salah satu poin utama yang dibahas dalam FGD adalah pengembangan strategi nasional dalam peta jalan reduksi susut dan sisa pangan di seluruh rantai pasok pangan, mulai dari produksi hingga konsumsi.
Selain itu juga pembahasan indikator susut dan sisa pangan yang akan dijadikan sebagai acuan penilaian di Indonesia. Selain itu, dalam FGD ini, para pemangku kepentingan juga membahas pentingnya kebijakan yang mendukung pengurangan susut pangan, termasuk peran penting pemerintah dalam menciptakan regulasi yang lebih efektif dan mendukung inovasi dalam produksi, distribusi, dan manajemen pangan.