Pentingnya kolaborasi untuk meredam abrasi di Natuna
Gelombang tinggi air laut yang kerap melanda Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, mengikis beberapa wilayah pesisir di daerah itu. Akibatnya, air pasang makin dekat dengan permukiman warga.
Rumah warga Desa Sepempang ambruk diterjang gelombang pasang. ANTARA/HO-BPBD NatunaElshinta.com - Gelombang tinggi air laut yang kerap melanda Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, mengikis beberapa wilayah pesisir di daerah itu. Akibatnya, air pasang makin dekat dengan permukiman warga.
Kondisi tersebut sangat memprihatinkan, sebab gelombang air pasang tinggi membahayakan masyarakat di sekitar pesisir.
Kondisi tersebut telah dirasakan oleh beberapa warga masyarakat di wilayah Kecamatan Bunguran Timur dan Kecamatan Pulau Panjang.
Pada 2023, misalnya, gelombang pasang tinggi telah menghancurkan satu rumah warga di wilayah pesisir Kecamatan Bunguran Timur, tepatnya di Desa Sepempang. Pada tahun sama, puluhan bangunan di Kecamatan Pulau Panjang, tepatnya di Desa Kerdau, rusak akibat dihantam gelombang pasang.
Meski demikian, kedua peristiwa tersebut tidak sampai menyebabkan jatuh korban. Namun aktivitas warga menjadi terganggu.
Karena gelombang pasang tinggi berpotensi destruktif, ancaman ini harus disikapi dengan bijak dan cepat oleh negara agar masyarakat pesisir tidak kehilangan ruang kehidupan.
Kerusakan lingkungan pada akhirnya juga mengganggu perekonomian masyarakat, bahkan nyawa mereka.
Pergeseran wilayah yang disebabkan oleh abrasi tidak hanya membahayakan masyarakat, namun lebih jauh lagi mengancam kedaulatan negara. Pasalnya, abrasi menyebabkan wilayah daratan menyusut.
Oleh karena itu, program meredam abrasi air laut harus cepat dibuat oleh Pemerintah, apalagi Natuna berbatasan langsung dengan beberapa negara, seperti China, Vietnam dan Malaysia.
Penyebab dan solusi
Abrasi merupakan fenomena alam yang sulit dihindari, namun karena manusia kurang bijak dan hati-hati mengelola lingkungan maka mengakibatkan proses abrasi yang seharusnya terjadi secara alami, menjadi tidak seimbang atau menjadi lebih cepat.
Terumbu karang dan hutan bakau yang berfungsi memecah dan memperlambat pergerakan gelombang, misalnya, dieksploitasi secara berlebihan dan tidak sama sekali tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem.
Banyak terumbu karang rusak akibat penggunaan potas atau racun saat mencari ikan. Adapun luas hutan bakau kian menyusut akibat ditebang untuk membuat material bangunan dan arang.

Selain itu, pemanfaatan pasir laut sebagai bahan bangunan juga merupakan salah satu aktivitas yang berdampak besar mempercepat penyusutan daratan akibat abrasi yang kian cepat itu.
Padahal kondisi tersebut bakal merugikan masyarakat itu sendiri, sebab ekosistem di wilayah tersebut makin rusak akibat terumbu karang dan mangrove -- sebagai bagian penting dalam pembentuk ekosistem -- hilang.
Terumbu karang dan mangrove yang rusak perlahan akan menghilangkan biota laut. Biota laut bermigrasi karena tempat tinggal mereka sudah hilang bersamaan dengan kerusakan ekosistem.
Dampak lebih jauh, masyarakat nelayan harus bekerja ekstra dan melaut lebih jauh lagi untuk mencari nafkah. Alhasil, biaya yang dikeluarkan nelayan membengkak sehingga menurunkan penghasilan bersih mereka.
Jika hal ini terus dibiarkan, ekonomi masyarakat bisa makin terpuruk. Ekosistem pesisir pun makin rusak. Oleh karena itu, negara harus hadir dengan mencarikan jalan keluar.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencerdaskan kehidupan masyarakat. Masyarakat harus dididik dengan diberikan pemahaman terhadap cara memanfaatkan alam dengan lestari, agar kerusakan lingkungan tidak makin parah.
Pelatihan dan bimbingan dalam memanfaatkan alam secara berkelanjutan perlu diberikan kepada warga masyarakat. Langkah selanjutnya melakukan perbaikan terumbu karang dan reboisasi hutan mangrove.
Dalam proses tersebut harus memberdayakan masyarakat sekitar, agar mereka tahu bahwa butuh waktu panjang untuk memperbaiki ekosistem yang rusak itu.
Hal Tersebut juga sebagai pengingat agar mereka bisa memanfaatkan alam dengan cara yang benar.
Pemecah gelombang buatan
Pemecah gelombang atau dikenal juga dengan pemecah ombak (breakwater) merupakan prasarana yang perlu dibangun di beberapa wilayah di Natuna dalam waktu dekat, guna menahan laju abrasi.
Apalagi rehabilitasi terumbu karang dan hutan mangrove membutuhkan waktu lama.
Menurut Yasir, pemerhati magrove dari dari Bangka Belitung, butuh waktu 3-5 tahun untuk menumbuhkan tanaman bakau setinggi 1 meter, sedangkan terumbu karang membutuhkan waktu 1 tahun untuk tumbuh sepanjang 1 sentimeter saja!
Dengan demikian perbaikan terumbu karang dan hutan yang dilakukan saat ini baru akan berdampak pada puluhan bahkan ratusan tahun mendatang.
Oleh karena itu, pemecah ombak merupakan salah satu solusi tepat yang harus dilakukan Pemerintah. Pemerintah, baik pusat, provinsi, dan daerah harus berkolaborasi demi mencegah abrasi.
Masing-masing tingkatan pemerintahan perlu menyisihkan anggaran untuk membangun pemecah ombak karena amat sulit bila anggaran tersebut hanya ditanggung oleh pemkab atau pemerintah provinsi.
APBD Provinsi Kepulauan Riau dan Kabupaten Natuna sangat terbatas sehingga sulit bagi mereka membangun pemecah ombak yang membutuhkan biaya amat besar.
Oleh karena itu kucuran APBN dari kementerian dan lembaga (K/L) sangat dibutuhkan guna mempercepat pembangunan, seperti yang telah dilakukan Kementerian PUPR di Pulau Semiun, Kecamatan Pulau Laut, Kabupaten Natuna.
Untuk menjaga pulau terluar tersebut, Kementerian PUPR membangun pemecah ombak dengan anggaran Rp66 miliar.
Jumlah tersebut terbilang cukup besar jika harus dikeluarkan dari APBD Kabupaten Natuna.
Besaran APBD Natuna yang bisa digunakan untuk membangun infrastruktur hanya 20--30 persen kurang lebih Rp1 triliun dari APBD mereka.
Jika Pemerintah Kabupaten Natuna memaksakan pembangunan pemecah ombak maka akan banyak pembangunan sektor lain yang terhambat. Apalagi Natuna memiliki wilayah lautan yang luas.
Oleh karena itu, Pemerintah Pusat, Pemprov Riau, dan Pemkab Natuna harus bergotong royong menyediakan anggaran pembangunan pemecah ombak demi menjaga hajat hidup warga masyarakat setempat.




