Fishum UIN Sunan Kalijaga dan BRIN gagas pembiayaan risiko bencana yang efisien
Indonesia sebagai negara yang memiliki tingkat kerawanan bencana yang tinggi sudah seharusnya memiliki strategi pembiayaan risiko bencana yang memadai dan berkelanjutan. Kolaborasi dari berbagai pihak penting dilakukan untuk menggali sumber daya yang dimiliki sehingga pembiayaan risiko bencana bisa lebih efisien.

Elshinta.com - Indonesia sebagai negara yang memiliki tingkat kerawanan bencana yang tinggi sudah seharusnya memiliki strategi pembiayaan risiko bencana yang memadai dan berkelanjutan. Kolaborasi dari berbagai pihak penting dilakukan untuk menggali sumber daya yang dimiliki sehingga pembiayaan risiko bencana bisa lebih efisien.
Bencana alam di Indonesia, khususnya di Lombok, Palu, dan Selat Sunda pada 2018, menyebabkan dampak serius dengan 5.846 korban jiwa dan kerugian ekonomi mencapai Rp38 triliun (USD2,7 miliar). Global Facility for Disaster Reduction and Recovery mencatat pengeluaran pemerintah Indonesia sebesar USD300 s.d. USD500 juta per tahun untuk rekonstruksi, mencapai 0,3% dari total PDB (Produk Domestik Bruto) dan 45% dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Kerugian rata-rata setiap rumah tangga merugi Rp21,9 juta akibat bencana, khususnya di sektor pertanian yang sangat rentan. Responsi tanggap terhadap frekuensi dan dampak bencana di Indonesia bersifat terbatas karena mengandalkan anggaran pemerintah yang juga sangat terbatas.
Oleh karena itu, diperlukan strategi pembiayaan baru dengan fokus pada mengurangi beban APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) sebagai dana publik sehingga didapatkan sumber pendanaan yang memadai dan berkelanjutan. Sebagai suplemen dana publik, pembiayaan diperoleh dari partisipasi dari swasta dan masyarakat dengan skema kemitraan publik dan swasta yang didukung oleh kebijakan dan mekanisme pasar yang tepat.
"Bukan mengurangi beban dana publik, tetapi bagaimana mengefisienkan dana publik dan meningkatkan peran masyarakat dan swasta dalam aspek pembiayaan tersebut," ujar Kepala Organisasi Riset Tata Kelola, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat - Badan Riset dan Inovasi Nasional (OR TKPEKM BRIN), Dr. Agus Eko Nugroho pada acara Networking Roundtable Discussion “Strategi Baru Pembiayaan Risiko Bencana:" Mengurangi Beban Dana Publik dan Meningkatkan Peran Swasta“ kerjasama BRIN-FISHUM UIN Sunan Kalijaga di Hotel Grand Rohan Yogyakarta, Selasa (7/5/2024).
Pembiayaan risiko bencana selama ini lebih banyak menggantungkan dari dana publik atau dana pemerintah baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pembiayaan dari mulai edukasi, tanggap bencana sampai recovery semua ada di pemerintah. Karena itu bagaimana membangun kesadaran untuk meningkatkan kemampuan masyarakat sendiri termasuk swasta dan filantropi termasuk Baznas dalam meningkatkan ketahananan terhadap bencana.
"Pemerintah memiliki keterbatasan, kalau semua memberikan ketergantungan yang kuat pada pemerintah pusat maupun daerah itu tidak sehat dan pemerintah punya keterbatasan yang signifikan," imbuhnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Izan Raharjo, Rabu (8/5).
Ia mencontohkan seperti asuransi untuk pembiayaan risiko bencana kedepan. Asuransi memiliki kalkulasi risiko yang lebih baik dan data yang lebih kuat. Namun perlu payung hukum yang jelas sehingga menjadi panduan dalam pelaksanaanya.
"Kalau daya beli masyarakat terhadap premi rendah, bagaimana mendesainya sehingga terjangkau itu yang penting. Kalau itu bisa dilakukan akan rasional dibanding kebijakan yang hanya menekankan pada dana publik," katanya.
Sementara itu, Dekan FISHUM UIN Sunan Kalijaga Dr. Mochamad Sodik mengatakan, bahwa sudah sewajarnya Indonesia mempunyai skema pembiayaan risiko bencana mengingat Indonesia menjadi negara dengan tingkat kerawanan bencana alam.yang tinggi. Potensi-potensi bencana itu sudah seharusnya dimitigasi. Dan kesadaran pembiayaan risiko bencana itu sebaiknya dilakukan.
"Pembiayaan risiko bencana bisa dari berbagai pihak selain negara, seperti lembaga bantuan swasta, perusahaan asuransi dan donasi kolektif masyarakat," katanya.
Kerjasama BRIN dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta adalah yang pertama dan diharapkan berikutnya bisa bekerjasama dengan kampus-kampus lainya. Bagaimana membangun kolaborasi untuk menggali sumber daya yang ada daeri mulai riset, policy maker maupun filantropi dan para penggiat pengurangan bencana untuk bekerjasama agar sumber daya yang ada itu bergerak tidak hanya riset tetapi bagaimana advokasi dan implementasi di lapangan.