Data Fortinet bocor, Sidik Cyber serukan stop ketergantungan teknologi asing
CEO Sidik Cyber, Yonathan Yeremia memberikan respons atas kasus kebocoran data yang tengah dialami oleh salah satu perusahaan cyber security terbesar di Amerika Serikat, Fortinet.

Elshinta.com - CEO Sidik Cyber, Yonathan Yeremia memberikan respons atas kasus kebocoran data yang tengah dialami oleh salah satu perusahaan cyber security terbesar di Amerika Serikat, Fortinet.
Menurutnya, kebocoran data Fortinet hingga berdampak pada 0,3 persen data pelanggan mereka menjadi salah satu bukti ancaman data global yang terjadi dewasa ini.
"Meski Fortinet menyatakan bahwa hanya 0,3% dari data pelanggan yang terdampak, peristiwa ini tetap menunjukkan kelemahan dalam infrastruktur keamanan siber yang bergantung pada penyedia layanan cloud global," kata Yonathan dalam keterangannya, Minggu (15/9).
Ia mengatakan bahwa ketergantungan pada sistem penyedia cloud system global. Apalagi serangan terhadap Microsoft Azure SharePoint dalam insiden Fortinet menjadi salah satu catatan besarnya. Yang mana ketika infrastruktur cloud asing seperti Azure digunakan oleh perusahaan-perusahaan global untuk mengelola data mereka, ancaman terhadap kedaulatan digital menjadi lebih signifikan.
"Peretas Fortibitch telah mengekspose data yang dicuri dan menyimpannya di Amazon S3 bucket, menambah kerentanan data yang telah terekspos ke infrastruktur asing lainnya," ujarnya.
Oleh sebab itu, Yonathan mengatakan bahwa kasus-kasus serangan keamanan siber yang saat ini tengah marak terjadi menjadi salah satu aspek yang menjadi perhatian serius. Salah satunya bagaimana pengelolaan cloud system tak selalu mengandalkan layanan global.
"Layanan TKMT Risk Manajemen yang memiliki Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebesar 69,19% memberikan solusi berbasis lokal untuk manajemen risiko keamanan siber yang lebih kuat dan independen dari ketergantungan asing," terangnya.
Dengan memprioritaskan penggunaan teknologi lokal, Yonathan mengaku bahwa layanan TKMT Risk Management tidak hanya memperkuat pertahanan terhadap ancaman luar, tetapi juga memastikan bahwa pengelolaan data penting dilakukan dengan kendali penuh oleh anak bangsa
Di sisi lain, Yonathan juga menjelaskan bahww sebuah sistem keamanan siber yang efektif tidak hanya harus siap merespons insiden, tetapi juga harus mampu mengidentifikasi dan mencegah serangan sebelum data terekspos.
"Kami menggunakan mekanisme pencegahan, deteksi dini, dan penanganan insiden yang lebih adaptif terhadap ancaman lokal maupun global. Pendekatan ini memungkinkan mitigasi risiko yang lebih cepat dan efektif sebelum maupun ketika menghadapi serangan seperti yang dialami oleh Fortinet," tuturnya.
Lebih dari itu, Yonathan juga menerangkan bahwa dalam penerapan cyber security, sistem yang dijalankan harus benar-benar bisa beradaptasi dengan berbagai aspek. Termasuk kebutuhan antisipasi risiko serangan, kebutuhan pelayanan hingga kesesuaian regulasi.
"Di sinilah peran SIDIK CYBER dan TKMT menjadi krusial dalam membangun solusi berbasis lokal yang tidak hanya menyesuaikan diri dengan ancaman global, tetapi juga menghadirkan inovasi yang kontekstual dengan kebutuhan di Indonesia," tegas Yonathan.
Terakhir, ia menegaskan bahwa sudah saatnya kolaborasi teknologi lokal mengambil kesempatan yang baik untuk bersaing dalam mewujudkan merdeka teknologi dan kedaulatan digital.
"Dalam menghadapi tantangan keamanan siber yang semakin kompleks, Indonesia harus berdiri di garis depan dengan memanfaatkan kekuatan dan potensi karya anak bangsa. Kemandirian teknologi dan TKDN yang tinggi adalah kunci untuk mencapai kedaulatan digital yang sesungguhnya," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, bahwa Fortinet tengah mengalami pelanggaran keamanan pada server Microsoft Azure SharePoint mereka, yang dieksploitasi oleh aktor ancaman Fortibitch.
Serangan terhadap salah satu perusahaan keamanan siber terbesar di USA ini dilaporkan melibatkan pencurian dan pengungkapan 440 GB data. Meski Fortinet menyatakan bahwa hanya 0,3% dari data pelanggan yang terdampak, peristiwa ini tetap menunjukkan kelemahan dalam infrastruktur keamanan siber yang bergantung pada penyedia layanan cloud global. Artinya, sekitar 775.000 pelanggannya di seluruh dunia terdampak pada serangan siber ini, yang berarti jumlah mempengaruhi sekitar 2.325 organisasi.