19 Oktober 1987: Kisah kelam dalam sejarah perkeretaapian nasional
Elshinta.com - Tragedi Bintaro, yang terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987, merupakan salah satu kecelakaan kereta api paling mematikan dalam sejarah Indonesia. Insiden ini terjadi di jalur kereta antara Stasiun Sudimara dan Stasiun Kebayoran Lama, Jakarta, tepatnya di daerah Bintaro, Jakarta Selatan. Kecelakaan tersebut melibatkan dua kereta api yang bertabrakan secara frontal, yaitu KA 225 dari Rangkasbitung menuju Tanah Abang dan KA 220 dari Tanah Abang menuju Merak. Peristiwa ini menewaskan ratusan orang dan meninggalkan luka mendalam dalam sejarah transportasi Indonesia.

Elshinta.com - Tragedi Bintaro, yang terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987, merupakan salah satu kecelakaan kereta api paling mematikan dalam sejarah Indonesia. Insiden ini terjadi di jalur kereta antara Stasiun Sudimara dan Stasiun Kebayoran Lama, Jakarta, tepatnya di daerah Bintaro, Jakarta Selatan. Kecelakaan tersebut melibatkan dua kereta api yang bertabrakan secara frontal, yaitu KA 225 dari Rangkasbitung menuju Tanah Abang dan KA 220 dari Tanah Abang menuju Merak. Peristiwa ini menewaskan ratusan orang dan meninggalkan luka mendalam dalam sejarah transportasi Indonesia.
Pada pagi yang cerah tanggal 19 Oktober 1987, dua kereta api sedang melaju pada jalur yang sama dari arah berlawanan. KA 225 yang menuju Tanah Abang mengalami keterlambatan karena penumpang yang padat, sehingga berangkat lebih lambat dari jadwal. Sementara itu, KA 220 dari arah berlawanan juga sedang dalam perjalanan sesuai jadwal. Kedua kereta ini seharusnya melintas di jalur yang berbeda, namun karena miskomunikasi di antara petugas stasiun dan kelalaian pengaturan sinyal, kedua kereta dibiarkan berada di jalur yang sama.
Ketika kedua kereta saling mendekat dengan kecepatan tinggi, para masinis mencoba mengerem, namun jarak yang terlalu dekat membuat benturan tak terhindarkan. Sekitar pukul 07:00 WIB, kedua kereta bertabrakan hebat di perlintasan kereta api Bintaro. Benturan ini menyebabkan gerbong-gerbong kereta hancur dan melukai serta membunuh banyak penumpang yang berada di dalamnya.
Tragedi ini menyebabkan korban jiwa yang sangat besar. Sekitar 156 orang dinyatakan tewas dan lebih dari 300 lainnya mengalami luka-luka, banyak di antaranya parah. Para korban kebanyakan adalah para komuter yang menggunakan kereta untuk bekerja di pagi hari. Evakuasi korban dilakukan dengan susah payah karena kondisi gerbong yang ringsek, serta kurangnya peralatan dan fasilitas penyelamatan yang memadai saat itu.
Baca juga Tragedi Bintaro, ratusan orang tewas
Selain korban jiwa, tragedi ini juga meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat, terutama mereka yang kehilangan anggota keluarga atau teman dalam kecelakaan ini. Beberapa saksi mata menyatakan bahwa suasana di lokasi kejadian sangat mengerikan, dengan banyaknya tubuh korban yang terjepit di antara reruntuhan gerbong.
Setelah dilakukan investigasi, diketahui bahwa penyebab utama kecelakaan ini adalah human error dan kelalaian dalam pengaturan sinyal. Petugas stasiun yang bertugas pada saat itu diduga kurang cermat dalam mengatur jalur kereta yang seharusnya digunakan oleh kedua kereta. Komunikasi yang buruk antara petugas juga menjadi faktor penyebab kecelakaan.
Fasilitas sistem sinyal yang masih manual dan kurang memadai pada saat itu turut berperan dalam memperburuk situasi. Hal ini membuat kereta yang seharusnya berjalan di jalur berbeda malah melintas di jalur yang sama, menyebabkan tabrakan fatal.
Setelah kejadian ini, pemerintah Indonesia dan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), yang kini menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI), menerima banyak kritik dari masyarakat. Tragedi ini memicu perdebatan tentang keamanan transportasi publik, terutama kereta api, yang saat itu merupakan sarana utama transportasi di Jabodetabek.
Sebagai respons, dilakukan sejumlah perubahan dalam sistem pengaturan kereta api. Perbaikan terhadap sistem sinyal, komunikasi, dan manajemen operasional kereta api dilakukan agar tragedi serupa tidak terulang. Kesadaran akan pentingnya keselamatan penumpang juga semakin diperhatikan oleh pihak yang berwenang.
Hingga saat ini, Tragedi Bintaro masih dikenang sebagai salah satu peristiwa kelam dalam sejarah perkeretaapian Indonesia. Setiap tahunnya, pada tanggal 19 Oktober, masyarakat dan keluarga korban memperingati tragedi ini dengan doa bersama. Meski sudah lebih dari tiga dekade berlalu, kenangan akan kecelakaan ini tetap hidup, menjadi pengingat akan pentingnya keselamatan dalam sistem transportasi.
Tragedi Bintaro 1987 tidak hanya mengubah sistem perkeretaapian di Indonesia, tetapi juga mengajarkan betapa mahalnya harga kelalaian dan pentingnya pengawasan serta perbaikan berkelanjutan untuk memastikan keamanan penumpang.