Gelombang panas ancam efisiensi kumbang penyerbuk kelapa sawit
Perubahan iklim, khususnya gelombang panas, salah satunya berpotensi mengancam populasi Elaeidobius Kameronicus atau kumbang penyerbuk utama tanaman kelapa sawit, khususnya di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Elshinta.com - Perubahan iklim, khususnya gelombang panas, salah satunya berpotensi mengancam populasi Elaeidobius Kameronicus atau kumbang penyerbuk utama tanaman kelapa sawit, khususnya di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikan Mohammad Naim dari SMART Research Institute, Indonesia, dalam studi terbaru mereka mengenai dampak daripada perubahan suhu ekstrem khususnya terhadap serangga penting ini.
Hal itu disampiakannya pada saat menjadi pemateri di gelaran Bali Beach Sanur, Kota Denpasar, Bali, pada saat gelaran International Conference on Oil Palm & Environment (ICOPE) 2025 bertema Oil palm agro-ecological transformation: towards climate- and nature-positive agriculture atau Transformasi Agro-Ekologis Kelapa Sawit Menuju Pertanian yang Ramah Iklim dan Lingkungan di Bali Beach Convention, Sanur, Kota Denpasar, Bali.
“Kumbang serbuk memiliki peran krusial dalam industri kelapa sawit di Indonesia. Oleh karena itu, kita harus meningkatkan efisiensi penyerbukan untuk memastikan produktivitas tetap optimal,” kata Mohammad Naim dari SMART Research Institute, Indonesia, Rabu (13/2).
Ia menyoroti bahwa biaya penyerbukan menggunakan dengan kumbang jenis ini diperkirakan mencapai Rp 1,8 miliar per hektare, sehingga efisiensinya sangat penting bagi industri.
Penelitian ini dilakukan dengan menguji dampak suhu ekstrem pada kumbang dalam berbagai kondisi selama 14 hari. Empat perlakuan suhu diterapkan, yaitu Suhu Ruangan (26-30°C), Suhu Dingin (15-10°C), Suhu Panas (30°C di sore hari hingga pagi), Suhu Ekstrem (43°C).
Hasilnya menunjukkan bahwa kumbang masih dapat bertahan pada suhu ruangan hingga 30°C tanpa perubahan signifikan dalam siklus hidupnya.
Namun, pada suhu 43°C, hampir semua kumbang mati dalam waktu singkat. Bahkan, ketika larva dipaparkan pada suhu ekstrem selama 1 hingga 5 hari, tidak ada larva yang bertahan untuk menjadi kumbang dewasa.
“Ini menunjukkan bahwa gelombang panas dapat menghambat perkembangan kumbang dan mengurangi efisiensi penyerbukan,” tegasnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Eko Sulestyono.
Sementara itu, pada suhu dingin (15°C), sebagian besar larva tetap hidup (hingga 93%), meskipun mengalami perpanjangan siklus hidup.
Paparan suhu ini selama 14 hari tidak menghambat perkembangan kumbang secara keseluruhan, tetapi memperlambat proses metamorfosis mereka.
Temuan ini menjadi perhatian serius bagi industri sawit, terutama di tengah meningkatnya suhu global.
Di Asia Tenggara, gelombang panas telah tercatat dengan suhu ekstrem, seperti 53°C di Filipina dan 43°C di Lampung serta Sumatera Selatan.
Di Malaysia, efisiensi penyerbukan oleh Elaeidobius kameronicus tercatat mengalami penurunan 2,5% pada tahun 2020, dan tren serupa juga terdeteksi di Indonesia.
Ini menegaskan bahwa faktor lingkungan, termasuk suhu ekstrem, dapat berdampak langsung pada produktivitas kebun kelapa sawit.
Dengan temuan ini, Naim menekankan pentingnya strategi mitigasi untuk menjaga kelangsungan populasi kumbang penyerbuk.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah pemantauan suhu di area perkebunan dan perlindungan habitat alami kumbang agar tidak terpapar suhu ekstrem secara langsung.
“Kami masih memiliki banyak pertanyaan terkait dampak gelombang panas terhadap agresivitas dan efisiensi kumbang. Oleh karena itu, langkah mitigasi yang tepat sangat diperlukan agar keberlanjutan industri sawit tetap terjaga,” pungkas Mohammad Naim.