12 April 2005: Awal pengadilan kasus Munir
Elshinta.com - 12 April 2005, sidang perdana kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terdakwa utama adalah Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda Indonesia yang diduga meracuni Munir dengan arsenik saat transit di Singapura dalam penerbangan menuju Amsterdam. Jaksa penuntut menduga Pollycarpus tidak bertindak sendiri, melainkan atas perintah pihak lain yang diduga memiliki kaitan dengan Badan Intelijen Negara (BIN).

Elshinta.com - 12 April 2005, sidang perdana kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terdakwa utama adalah Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda Indonesia yang diduga meracuni Munir dengan arsenik saat transit di Singapura dalam penerbangan menuju Amsterdam. Jaksa penuntut menduga Pollycarpus tidak bertindak sendiri, melainkan atas perintah pihak lain yang diduga memiliki kaitan dengan Badan Intelijen Negara (BIN).
Munir tewas pada 7 September 2004 dalam pesawat Garuda Indonesia GA-974. Ia dalam perjalanan untuk melanjutkan studi di Belanda. Hasil otopsi di Belanda menunjukkan bahwa ia diracun dengan dosis arsenik yang mematikan. Peristiwa ini mengejutkan publik dan dunia internasional, sebab Munir dikenal sebagai salah satu pembela HAM paling vokal di Indonesia, yang kerap mengungkap pelanggaran berat oleh aparat negara.
Nama Muchdi Purwoprandjono, mantan Deputi V BIN, ikut mencuat dalam penyelidikan. Ia didakwa sebagai otak intelektual pembunuhan Munir, tetapi divonis bebas oleh pengadilan pada 2008 dengan alasan tidak cukup bukti. Keputusan ini memperkuat kesan impunitas di tubuh lembaga negara dan memicu gelombang kritik terhadap integritas sistem peradilan.
Kematian Munir menjadi titik balik dalam sejarah pergerakan HAM Indonesia. Kasus ini menyulut protes dari masyarakat sipil dan memperkuat desakan agar negara lebih transparan dan bertanggung jawab dalam menangani pelanggaran HAM. Sejumlah lembaga seperti Komnas HAM dan LPSK didorong untuk memperkuat peran perlindungan terhadap pembela HAM, yang kerap menjadi target ancaman dan kriminalisasi.
Setiap 7 September diperingati sebagai Hari Pembela HAM, sementara gerakan "Munir Menolak Lupa" tetap bergema dari tahun ke tahun. Munir kini menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang lalim dan perjuangan panjang untuk keadilan yang belum juga dijawab tuntas oleh negara.