Kebijakan seragam dan reklasifikasi mitra ancam masa depan ekosistem mobilitas digital Indonesia
Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) mengapresiasi aksi damai sejumlah mitra pengemudi ojek online (ojol) dan kurir digital di berbagai daerah pada Selasa

Elshinta.com - Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) mengapresiasi aksi damai sejumlah mitra pengemudi ojek online (ojol) dan kurir digital di berbagai daerah pada Selasa (20/5).
Dalam pernyataannya, Modantara menegaskan dukungannya terhadap kebebasan berpendapat. Namun demikian, asosiasi mengingatkan bahwa sektor mobilitas dan pengantaran digital merupakan elemen vital dalam kehidupan masyarakat modern dan menjadi denyut nadi perekonomian digital nasional.
Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, menyampaikan bahwa kebijakan yang berdampak besar terhadap jutaan mitra pengemudi dan pengguna layanan harus disusun berdasarkan data dan realitas ekonomi, bukan semata-mata dorongan politik.
“Kami memahami keresahan mitra, namun solusi harus berpijak pada realitas ekonomi — bukan sekadar wacana politik. Ekosistem ini terbukti menjadi bantalan sosial saat krisis. Oleh karena itu, kebijakan yang mengaturnya harus berbasis data dan mempertimbangkan dampak jangka panjang,” ujar Agung dalam keterangan tertulis kepada media.
Tolak Pemaksaan Komisi Tunggal
Menanggapi wacana penerapan komisi tunggal 10 persen bagi seluruh platform, Modantara menilai kebijakan tersebut tidak sesuai dengan dinamika industri. Menurut Agung, setiap platform memiliki model bisnis yang berbeda-beda, tergantung pada jenis layanan, target pasar, dan strategi pemberdayaan mitra.
“Penyeragaman komisi justru dapat menghambat inovasi, mengancam layanan di daerah dengan margin rendah, serta memaksa efisiensi berlebihan yang berisiko menurunkan kualitas layanan kepada konsumen,” jelasnya.
Reklasifikasi Mitra Dinilai Berisiko
Modantara juga menyoroti wacana reklasifikasi mitra pengemudi menjadi pegawai tetap. Berdasarkan kajian Svara Institute (2023), perubahan status tersebut berpotensi menghapus 70 hingga 90 persen pekerjaan di sektor ini serta menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hingga 5,5 persen atau sekitar Rp178 triliun.
“Ketika niat melindungi justru membuat jutaan mitra kehilangan akses kerja fleksibel, kita perlu berhenti dan bertanya: siapa sebenarnya yang terlindungi?” kata Agung.
Ia menambahkan, sejumlah negara seperti Spanyol, Swiss, dan Inggris telah mengalami dampak serupa pasca penerapan kebijakan yang sama, mulai dari peningkatan tarif layanan hingga 30 persen, penurunan jumlah mitra aktif, hingga hengkangnya beberapa platform dari pasar.
Dukung Kesejahteraan Mitra, Tolak Pendekatan Seragam
Terkait tuntutan penyesuaian tarif, Modantara mendukung upaya peningkatan kesejahteraan mitra, namun menolak pendekatan seragam yang tidak mempertimbangkan kondisi di lapangan.
“Kita harus memperhatikan biaya operasional dan taraf hidup mitra. Namun, tarif yang terlalu tinggi justru akan menurunkan minat konsumen. Percuma tarif tinggi jika yang beli tidak ada,” ujar Agung.
Regulasi Harus Adaptif terhadap Realitas Lapangan
Modantara menegaskan bahwa regulasi tarif layanan pengantaran makanan dan barang berbasis aplikasi tidak dapat disamakan dengan logistik konvensional. Saat ini, layanan pengantaran berbasis aplikasi (On-Demand Service/ODS) masih tunduk pada UU Pos No. 38 Tahun 2009 yang dinilai sudah tidak relevan.
Asosiasi ini mendorong pembaruan regulasi yang mampu mengakomodasi realitas di lapangan, termasuk variasi jenis kendaraan, waktu dan jarak tempuh, serta pola permintaan yang fluktuatif.
Modantara juga mengingatkan bahaya kebijakan pendapatan minimum yang dipaksakan tanpa memperhatikan kondisi pasar. Kebijakan semacam itu dinilai berisiko membatasi perekrutan mitra baru, menaikkan harga layanan, hingga mendorong platform keluar dari wilayah non-komersial.
Sebagai alternatif, Modantara mengusulkan pendekatan kolaboratif berbasis insentif dan perlindungan sosial, seperti skema pembiayaan UMKM, insentif parkir dan perpajakan, serta pelatihan kewirausahaan.
“Cara kerja, kecepatan, dan fungsi pengiriman ODS dengan logistik konvensional sangat berbeda. Menyeragamkan tarif justru akan membatasi inovasi dan membunuh industri secara perlahan,” tegas Agung.
Dampak Ekonomi yang Luas
Dalam lembar fakta yang disertakan, Modantara mencatat bahwa pemaksaan reklasifikasi mitra sebagai karyawan tetap dapat berdampak luas. Dampak tersebut mencakup hilangnya akses layanan bagi kelompok rentan seperti lansia dan penyandang disabilitas, penurunan pendapatan UMKM yang bergantung pada layanan pengantaran, lonjakan pengangguran informal akibat hilangnya fleksibilitas kerja, hingga efek domino terhadap pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak, dan stabilitas sosial.
Modantara juga menyebut bahwa industri mobilitas dan pengantaran digital saat ini menyumbang sekitar 2 persen terhadap PDB nasional dan mendukung lebih dari 1,5 juta pelaku UMKM.
Sebagai penutup, Modantara menegaskan komitmennya untuk terus berdialog dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, mitra pengemudi, dan masyarakat sipil.
“Ekosistem mobilitas digital yang sehat membutuhkan kebijakan yang adil, inklusif, dan berpijak pada realitas ekonomi,” pungkas Agung, seperti yang dilaporkan Kontributor Elshinta Awaluddin Marifatullah.