Podcast LSI Denny JA ungkap kejutan: Kejagung lampaui KPK dan Polri dalam kepercayaan publik
Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis temuan yang menggambarkan pergeseran dalam lanskap kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum

Elshinta.com - Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis temuan yang menggambarkan pergeseran dalam lanskap kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Lewat Podcast Suara Angka edisi terbaru, para peneliti senior LSI memaparkan bahwa Kejaksaan Agung kini menempati posisi teratas dalam tingkat kepercayaan publik, melampaui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Survei nasional yang digelar pada Juni 2025 menunjukkan Kejaksaan Agung dipercaya oleh 61% publik, mengungguli KPK yang memperoleh 60% dan Polri sebesar 54,3%. Ini menjadi kali pertama dalam sepuluh tahun terakhir Kejaksaan Agung menduduki posisi tertinggi di antara institusi penegak hukum lainnya.
“Ini bukan sekadar statistik,” kata Adjie Alfarabie dalam podcast tersebut. “Ini adalah pergeseran psikologis publik terhadap siapa yang benar-benar dipercaya untuk menegakkan keadilan,” seperti yang dilaporkan Reporter Elshinta Rizky Rian Saputra.
Perubahan kepercayaan ini tak lepas dari langkah Kejaksaan Agung yang belakangan berani menuntaskan sejumlah kasus besar. Kasus korupsi BTS Kominfo yang menyeret Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate pada 2023 menjadi salah satu titik balik penting. Kasus-kasus berikutnya seperti korupsi Duta Palma senilai Rp 78 triliun dan tambang timah Bangka Belitung hingga Rp 271 triliun semakin memperkuat citra Kejaksaan sebagai lembaga yang berani menyentuh elite kekuasaan.
Menurut Ardian Sopa, fenomena ini menunjukkan adanya “rehabilitasi moral” lembaga Kejaksaan. “Kejaksaan menunjukkan bahwa institusi hukum bisa bangkit, selama punya kemauan, perlindungan politik, dan konsistensi,” ujarnya.
Dukungan struktural dari Presiden Prabowo turut memperkuat posisi Kejaksaan. Bahkan dalam beberapa kasus, Kejagung mendapat dukungan teknis dari Polri dan TNI untuk memperkuat pelaksanaan tugasnya di lapangan.
Namun, di tengah capaian itu, para peneliti LSI mengingatkan munculnya fenomena ironis dalam penegakan hukum era digital: “No Viral, No Justice.” Ade Bhondon mengingatkan bahwa “Ini bukan lelucon. Jika kasus tidak trending di TikTok, tidak dikomentari para influencer, maka sering kali penanganannya lambat, bahkan mandek.”
Fenomena ini menunjukkan bahwa perhatian publik melalui media sosial kini ikut menentukan cepat atau lambatnya penanganan suatu kasus. Di satu sisi, hal ini membuka ruang partisipasi masyarakat. Di sisi lain, situasi ini membahayakan keadilan substantif karena hukum berpotensi hanya berjalan jika ada sorotan publik yang masif.
LSI Denny JA merekomendasikan agar lembaga hukum tidak menghindar dari sorotan digital, melainkan mengelolanya secara akuntabel. Mereka mendorong penguatan kanal resmi lembaga, keterbukaan data, serta kolaborasi dengan jurnalis investigatif agar pengawasan publik tetap terjaga.
Podcast juga menyoroti tantangan yang dihadapi Presiden Prabowo. Meski kepemimpinannya kuat, namun kepercayaan terhadap lembaga pelaksana hukum belum sepenuhnya mengimbangi. “Presiden boleh karismatik,” ujar Adjie, “tapi jika lembaga hukum di bawahnya tidak dipercaya, maka pelaksanaan visi tinggal janji kosong.”
Sebagai perbandingan, di negara-negara maju seperti Norwegia dan Finlandia, tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga hukum mencapai lebih dari 80%. Sementara di Indonesia, semua institusi penegak hukum masih berada di bawah 65%.
LSI Denny JA merekomendasikan tiga langkah perbaikan untuk memperkuat penegakan hukum ke depan:
1. Reformasi sistem rekrutmen dan promosi berbasis meritokrasi,
2. Pengawasan independen untuk mencegah impunitas,
3. Penerapan kurikulum etika hukum sejak pendidikan dasar hingga kalangan aparatur sipil negara.
Jika Kejaksaan mampu memanfaatkan momentum ini dengan konsisten, bukan tidak mungkin lembaga tersebut menjadi simbol baru harapan publik dalam penegakan hukum. Namun Ardian Sopa mengingatkan, perjuangan masih panjang. “Kejaksaan harus berani lebih jauh, memutus rantai oligarki hukum, bukan hanya menangkap pelaku di permukaan,” katanya.
Kasus-kasus seperti BTS Kominfo dan tambang timah hanyalah permukaan dari gunung es korupsi yang lebih besar. Pola yang terus berulang antara korupsi, penindakan simbolik, impunitas, lalu korupsi baru harus dihentikan sampai ke akarnya.
Sebagaimana diungkapkan dari kutipan klasik Aiskhylos, “keadilan adalah cahaya yang lahir dari luka.” Namun cahaya itu hanya akan bertahan jika kepercayaan publik terus dijaga.
Kini, lentera itu masih menyala, walaupun redup. Jika diperkuat dengan reformasi, keberanian, dan cinta pada keadilan, hukum tidak lagi menunggu viral untuk bertindak. Ia akan hadir karena nurani. Karena kepemimpinan. Karena amanat rakyat.
Podcast Suara Angka selengkapnya dapat disimak melalui tautan berikut, kilik disini